“Semoga sagu tidak menjadi
dongeng di buku pelajaran SD, sebuah
dongeng tentang sagu sebagai makanan pokok orang Papua”
Sebuah cerita
dari diriku seorang perempuan Papua keturunan Kei (Maluku Tenggara), yang
merasa bebas merdeka dari ketergantungan nasi (sambil membayangkan mereka yang
memilih makan nasi aking sementara ada ubi kayu/singkong atau jagung yang
dibiarkan nganggur dan hanya jadi pakan ternak, jutaan hutan dan pohon yang
ditebang untuk pembukaan sawah baru, berapa banyak air yang dikeluarkan untuk
menjadi sebutir nasi). Awalnya yang menjadi motivasi untuk bebas dari nasi adalah
masalah berat badan. Ketika masalah berat badan teratasi dan timbul kesadaran
untuk tidak bergantung pada nasi, sehingga kalau masih ada stok sagu dan enbal
(makanan berbahan dasar singkong khas dari Kei), maka kedua makanan dari tanah
asalku menjadi sumber karbohidratku. Ketika sagu dan enbal tidak ada beralih lah
saya ke singkong atau ubi jalar rebus. Kalau bosan dengan makanan tradisional,
pilihan sumber karbohidrat saya adalah aneka pasta italia seperti spagethi,
macaroni atau fusili atau roti atau biskuit, atau buah, atau pecel sayur buatan
sendiri dengan sumber karbohidrat kentang rebus. Kalau sudah makan buah, atau
makan bakso dan sudah kenyang (tanpa didampingi nasi) okelah saya tidak makan
nasi lagi. Memang saya masih makan nasi, tapi nasi bukanlah "candu"
bagi saya, sehingga apabila belum makan nasi berarti saya belum makan. Saya
akan menjawab saya sudah makan, walaupun saya belum makan nasi.
Menurut buku
pelajaran SD makanan pokok orang Indonesia menurut daerahnya, orang Papua dan
Maluku makanan pokoknya sagu dan umbi-umbian. Orang NTT (Nusa Tenggara Timur)
makanan pokoknya jagung dan umbi-umbian. Tahun 90-an ketika saudara-saudara
mama (yang lahir-besar dan hidup di tanah Papua) pulang ke Kei. Mereka
mengeluhkan tidak adanya nasi, karena harga beras mahal. Kondisi tahun 90-an
tentu berbeda dengan kondisi sekarang, sekarang orang Kei juga setiap hari
makan nasi. Ketika adikku ikut suaminya mudik ke Manggarai-NTT tahun 2015 lalu,
dia cerita setiap hari makan nasi, mulai dari sarapan sampai makan malam harus
ada nasi. Beras selalu tersedia karena keluarga menanam padi dan punya sawah
sendiri. Ingin kudengar cerita makan nasi jagung atau jagung titi khas NTT tapi
tidak kudengar cerita itu, entah dia yang lupa bercerita pengalaman makan nasi
jagung, atau aku yang kurang menyimak.
Ada pula
cerita adikku banyak pula ubi jalar yang di tanam oleh keluarga, tetapi ubi
jalar ini hanya sebagai cemilan teman teh atau kopi di sore hari. Ketika aku bercerita
dengan seorang kerabat orang asli Papua, katanya tidak apa di rumah tidak ada
lauk, yang penting beras harus selalu ada di rumah. Sekarang tahun 2016, bagi
saudara-saudara di luar Papua dan belum pernah ke Papua. Jangan mudah percaya
dengan buku pelajaran SD! Sehingga sering bertanya kepada kami, “kalian setiap
hari makanannya sagu yang mirip lem (papeda) ya?” Mungkin kami masih makan, tetapi
bukan makanan setiap hari kami. Makanan ini hanya hadir di saat tertentu saja,
kami makan nasi setiap hari sama seperti saudara-saudara lain di luar
Papua. Sebagian besar dari kami akan
menjawab belum makan kalau belum makan nasi.
Bukankah
bangsa Indonesia ini menganut Bhineka
Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu)? Tetapi kesannya kok semuanya
ingin diseragamkan, mengebiri budaya asli dan kearifan lokal, dengan mengubah
makanan pokok di daerah-daerah yang non nasi semua menjadi nasi. Apakah ini
buah dari Orde Baru? ketika "Panca Usaha Tani " berjaya dan puncaknya
dengan prestasi Swasembada Beras Indonesia Tahun 1984. Transmigrasi dan
pembukaan hutan dimana-mana untuk jadi areal persawahan. Penggunaan bibit
unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat, pengendalian
hama/penyakit, dan pengairan atau irigasi, serta bimbingan massal berupa
penyuluhan-penyuluhan dan pendampingan dari para sarjana pertanian. Menjadi
bagian dari "revolusi hijau" dunia untuk menjawab kebutuhan zaman
yang dihadapi saat itu, yaitu ketika terjadi ancaman kelaparan akibat
terbatasnya pangan dunia pada dekade 1960-an dan 1970-an. Memang revolusi hijau
mampu menyelamatkan manusia di seluruh penjuru dunia akibat ancaman kelaparan.
Namun setelah 40 tahun berlaku di Indonesia, dampaknya mulai terasa sekitar
satu dekade terakhir, diantaranya berupa degradasi lingkungan sebagai akibat
penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan, menurunnya
keanekaragaman hayati akibat hilangnya berbagai varietas lokal, serta patahnya
berbagai ketahanan genetik terhadap hama dan penyakit.
Tanaman
eceng gondok (Eichhornia crassipes)
si cantik yang menjadi pembunuh bagi ekosistem perairan (khususnya air tawar)
akibat ekspansi dan pertumbuhannya yang sangat cepat sehingga menjadi gulma
air. Mengapa pertumbuhan eceng gondok begitu cepat? Hal ini terjadi akibat
terjadi water enrichment (pengayaan
badan air) akibat pupuk yang diberikan kepada tanaman, lalu tercuci menjadi
aliran permukaan terbawa hujan dan masuk ke badan air, atau air dari saluran
drainase sawah yang bermuara ke sungai. Menyikapi fenomena ini IPB (Institut
Pertanian Bogor) yang telah turut serta menggalakkan program revolusi hijau,
telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Merevolusi Revolusi Hijau” yang berisi
pendapat para Guru Besar IPB untuk mendorong kesadaran masyarakat untuk
mewujudkan pembangunan pertanian yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip
kedaulatan, berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia.
Gagasan
tentang revolusi hijau berawal dari teori Thomas Robert Malthus (1766 – 1834)
yang berpendapat bahwa “pertumbuhan penduduk sangat cepat dihitung dengan deret
ukur, sedangkan peningkatan produksi pertanian dihitung dengan deret hitung”.
Pertambahan penduduk meningkat sehingga kebutuhan pangan juga meningkat. Masa
orde baru telah berganti masa reformasi, masa revolusi hijau pun diganti masa
merevolusi revolusi hijau. Tetapi masalah pangan tetap menjadi masalah utama.
Masalah menjawab kebutuhan pangan “dikawinkan” dengan alasan untuk perbaikan
ekonomi demi kesejahteraan masyarakat pemilik hak ulayat, menjadi alasan
menjadikan salah satu daerah di tanah Papua sebagai “lumbung pangan”, yaitu
kota Merauke melalui pembukaan 1,2 juta hektar lahan.
Untuk
pengetahuan saudara-saudara yang belum pernah ke Merauke, kami di Merauke
terkenal dengan daerah-daerah transmigrasi penghasil padi di Merauke, sehingga
kami boleh berbangga hati dapat berswasembada beras untuk kabupaten sendiri,
dan juga bisa menjualnya ke beberapa kabupaten tetangga. Apakah belum cukup
itu, sehingga kami harus merelakan hutan kami jadi sawah lagi? Dimana lagi kami
dapat berburu dan mencari sagu kalau hutan dan tanah kami semakin hilang?
Apakah kami harus menjadi penyewa di atas tanah kami sendiri? Mungkin kalian
bisa berkata siapa suruh jual tanah. Tuntutan ekonomi membuat kami terpaksa
menjual tanah. Maaf saya menggunakan kata kami, mungkin saya salah menggunakan
kata kami. Kata kami yang saya gunakan merujuk pada mereka sang empunya hak
ulayat yang selama ini hidup di kampung-kampung dan di hutan-hutan. Mereka yang
hidup dengan berburu dan meramu dari alam.
Menurut
pikiran bodoh saya, mengapa hutan harus dibuka lagi? dijadikan seragam menjadi
sawah? Apakah karena padi makanan yang menjadi “candu” orang Indonesia termasuk
mereka yang hidup di kampung-kampung? Apakah ini bagian dari modernitas dan
perkembangan zaman? Perut orang Papua diajar untuk merasa lapar kalau belum
makan nasi! Apakah ini bagian dari cita-cita bangsa, mengebiri budaya dan
kearifan lokal? Karena menganggap sagu dan umbi-umbian “kalah saing” dengan
padi dari sisi ekonomi? Siapakah yang menciptakan pasar? Siapakah yang
mengebiri kearifan lokal? Hal ini menjadi PR bagi pemerintah, seharusnya
ketahanan pangan berbasis lokal.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan,
dalam Pasal (1) Ayat (2), pengertian Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan
bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas
Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dalam Pasal (1)
Ayat (4), pengertian Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi
negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Apakah nasi adalah makanan pokok orang Papua? Sebuah warisan dari leluhur!
Mengapa sagu dan umbi-umbian seakan-akan menjadi “anak tiri” di negerinya
sendiri?
Siapa yang
menciptakan istilah kerawanan pangan? Apakah rawan pangan yang dimaksud karena
tidak ada nasi/beras? Atau sebenarnya beras mencukupi tapi karena permintaan
yang terlalu tinggi akibat sikap “konsumtif dan boros” nasi? Ada bahan pangan
lokal di masing-masing daerah, tetapi kalah pamor, bukan kalah pamor sebenarnya
tetapi masyarakat “didekte” untuk makan nasi. Sehingga melupakan makanan pokok
daerah sebagai bagian dari budayanya. Saya ingat ketika mengikuti seminar
nasional terkait ketahanan pangan di kampus IPB, dengan pembicara Ketua Umum Serikat
Petani Indonesia. Beliau berkata pernah dalam kunjungan kerjanya di salah satu
daerah di NTT miris sekali nasib petani, ada petani yang memilih memberi makan
ternaknya buah alpukat dan jagung, sedangkan petani tersebut hanya makan nasi aking.
Maksud dari cerita beliau ketergantungan nasi sangat tinggi. Padahal ada bahan
pangan lokal tetapi ditinggalkan, masih menurut pemaparannya ketika dia
berkunjung ke salah satu negara penghasil perempuan cantik dan cerdas yang
sering memenangkan berbagai kontes kecantikan dunia. Negara Kolombia, makanan
pokok mereka adalah singkong dan alpukat.
Lahan adalah
lingkungan fisik dan biotik yang berkaitan dengan daya dukungnya terhadap
kehidupan dan kesejahteraan hidup manusia. Lingkungan fisik berupa relief atau topografi, iklim, tanah dan air, sedangkan lingkungan
biotik adalah manusia, hewan, dan tumbuhan. Aspek fisik dalam penggunaan lahan
perlu diperhatikan, agar tidak menimbulkan kerusakan bagi tanah serta daerah
sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi lahan, Sitorus (1998)
menyatakan bahwa evaluasi lahan pada hakekatnya merupakan proses pendugaan
potensi sumber daya lahan untuk berbagai kegunaan dengan cara membandingkan
persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan dengan sifat sumber
daya yang ada pada lahan tersebut. Fungsi kegiatan evaluasi lahan adalah
memberikan pengertian tentang hubungan antara kondisi lahan dengan
penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan
alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil. Dalam evaluasi
lahan menghasilkan 2 jenis klasifikasi penggunaan lahan, yaitu klasifikasi kelas kemampuan dan kesesuaian lahan.
Apakah secara kemampuan dan kesesuaian lahan, tanah di Papua sesuai untuk
bertani padi? Perlu diingat jenis tanah di Papua berbeda dengan di Pulau Jawa.
Ada 5 faktor
pembentuk tanah, yaitu iklim, organisme, bahan induk, waktu dan topografi.
Bahan induk tanah di Jawa berasal dari batuan gunung api yang kaya akan
mineral-mineral yang mendukung pertumbuhan tanaman. Ketika gunung api meletus,
akan terjadi selalu pembaharuan tanah di Pulau Jawa sehingga tanahnya subur.
Rata-rata daerah pertanian padi yang subur di pulau Jawa, jenis tanahnya adalah
Andisol. Penjelasan secara lengkap mengenai jenis-jenis tanah di Papua dapat
dibaca pada buku Ekologi Papua terbitan
tahun 2013. Di dataran tinggi Papua, jenis tanahnya didominasi oleh Entisol
yang berasal dari tanah aluvial dan juga Alfisol dan Mollisol. Daerah dataran
rendah seperti Merauke jenis tanahnya adalah Histosol, Entisol, Inceptisol,
Ultisol, dan Spodosol. Pembagian ordo tanah di Papua berdasarkan Soil Taxonomy yang dikeluarkan oleh USDA
(Departemen Pertanian Amerika Serikat). Untuk meningkatkan kesuburan tanah,
masyarakat Papua di dataran tinggi telah mengembangkan sistem pengembalian
organik ke dalam tanah (pemberian serasah dan sisa-sisa tanaman). Untuk daerah
dataran rendah seperti Merauke, untuk mengembangkan persawahan di tanah jenis
Ultisol, akan mengalami banyak kesulitan karena kebutuhan pupuknya tinggi dan juga
kebutuhan mesin pertanian untuk mengolah tanahnya.
Tingkat hara yang rendah di dalam
tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman, disebabkan karena jumlah hara yang
rendah dari bahan induk asal tanah tersebut, penyerapan dan pelepasan unsur
hara dalam tanah, atau karena hara yang hilang akibat pencucian oleh curah
hujan. Untuk kegiatan pertanian sawah di Papua, tentunya membutuhkan input
berupa pupuk, pestisida dan alat-alat mesin pertanian untuk mengolah
tanah. Mengapa tidak dilakukan pembukaan jutaan hektar, untuk
ekstensifikasi dusun sagu dan kebun umbi-umbian varietas lokal? Mengapa harus
padi yang dipaksakan untuk tumbuh di Papua, bukan manusia di Papua yang harus
kembali mengkonsumsi sagu atau umbi-umbian? Jangan malu untuk konsumsi sagu dan
umbi-umbian, karena makan sagu dan umbi-umbian merupakan budaya asli masyarakat
Papua. Bukankah para penderita penyakit gula atau Diabetes Mellitus sekarang beralih kembali mengkonsumsi karbohidrat
non beras, kembali mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian.
Apakah
pemerintah lupa dengan berbagai dampak di masa lalu akibat revolusi hijau di
Indonesia? Perlukah terjadi revolusi hijau yang kedua dan itu terjadi di tanah
Papua, dan yang menjadi korbannya adalah masyarakat asli yang selama ini hanya
menggantungkan hidup dengan meramu dan berburu. Menurutku daripada hutan mereka dibabat jadi
sawah, lebih baik dana itu dialokasikan untuk pembuatan asrama anak-anak mereka
yang bersekolah di kota, dialokasikan untuk kegiatan konservasi cendrawasih,
rusa, kangguru dan kasuari di kampung-kampung. Bukankah mereka harus berburu
untuk bertahan hidup, sekedar untuk mengisi perut yang lapar atau sedikit yang
lebih untuk dijual. Mereka pun kalah jumlah dari pemburu profesional yang
berburu dengan perlengkapan modern dengan tujuan komersial. Aku berharap ada
dana untuk penangkaran cenderawasih, rusa, kangguru dan kasuari. Peran dari
instansi terkait dan mahasiswa diperlukan untuk memberikan pembekalan dan
teknologi, bagaimana penangkaran hewan-hewan tersebut. Sehingga hewan-hewan
tersebut dapat hidup sehat, aktif dan produktif, bukan lagi betina menyusu yang
diburu sehingga memisahkan anak dan induknya, melainkan yang tidak produktif
yang dapat dikonsumsi. Atau mengajarkan budidaya kepiting bakau, bagi
masyarakat asli di daerah pesisir. Bukankah kepiting dari Papua terkenal
kelezatannya dan menjadi menu dengan harga tinggi di restoran-restoran?
Mungkin
saudara-saudara yang hidup di kota merasakan enaknya pembangunan dan pendidikan
atas nama otonomi khusus di tanah kami, merasakan modernitas. Tetapi kami yang
hidup di kampung untuk makan pun susah. Susah ketika hewan buruan dan sagu
semakin sulit dicari. Salahkah kami karena untuk bertahan hidup kami terpaksa
menjual tanah kami untuk perusahaan, dan penyesalan itu muncul di belakang
ketika “janji manis” di mulut untuk kesejahteraan kami, berbeda di atas bukti
“hitam dan putih itu”. Kami juga ingin anak-anak kami bersekolah
setinggi-tingginya. Tetapi apa daya kami hanya orang susah, yang susah hidup di
kampung dan susah hidup di kota. Kami hanya bisa menangis diatas tanah kami. Apakah
ada yang peduli dengan nasib kami? Atau hanya sekedar mengumpulkan harta
kekayaan di tanah kami lalu pulang membangun istana di kampungnya
masing-masing.
Aku
membayangkan pohon kelapa yang tumbuh subur, pohon kelapa yang berbuah hijau, berbuah
cokelat yang sudah tua dan siap untuk dijadikan kopra. Bukan pohon kelapa
berbuah jeriken yang hanya menghasilkan miras, sebagai salah satu pembunuh anak
bangsa. Aku berharap pohon kelapa dapat berbuah lebat, buah mudanya dijual
mama-mama di pondok-pondok wisata di pinggir pantai sebagai minuman pelepas
dahaga. Aku berharap bapak-bapak menjemur dan menjual kopra. Ada mesin parut
kelapa yang dibuat oleh mahasiswa yang datang ke kampung, sehingga mama-mama
dapat membuat minyak kelapa asli. Perlu ada koperasi untuk menampung hasil bumi
mereka, perlu ada pendampingan yang sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah untuk
mengangkat harkat, martabat dan derajat mereka. Aku membayangkan ikan asin yang
dijemur ibu-ibu di halaman, anak-anak membaca buku sambil menjaga agar ikan
asinnya tidak dicuri oleh hewan peliharaan.
Dalam
mimpiku aku melihat mereka, duduk bahagia di toko milik mereka sendiri, sebuah
toko yang menjual hasil kebun mereka, toko yang menjual aneka kue kering dari
sagu dan umbi-umbian, kopi, aneka olahan buah pala dan cokelat. Pemilik dan
karyawan toko, berambut keriting dan berkulit hitam menyambut tamu dengan
senyum sumringah. Di dinding toko, terpampang potret anak-anak mereka yang
tersenyum bahagia memakai toga didampingi bapak dan ibunya. Dalam duniaku, aku
melihat mereka tersenyum bahagia ketika berbagai anyaman dan kerajinan tangan
hasil karya mereka dipajang di display
toko mereka sendiri. Produk-produk mereka menembus pasar global, sehingga dapat
mewujudkan impian sang anak untuk mengejar ilmu kemana saja. Termasuk mengejar
ilmu sampai ke negeri Cina. Aku melihat anak-anak mereka eksis dimana saja,
menjadi tuan-tuan pembangunan yang adil, bijaksana dan berilmu dalam mengelola
alam ini. Tidak ada lagi air mata dan kelaparan. Masih ada hutan yang hijau,
masih ada dusun sagu yang luas, masih ada cendrawasih yang terbang bebas di hutan.
Cenderawasih, rusa, kangguru dan kasuari menjadi teman bermain anak-anak kecil
di kampung.
Perlu upaya dan kerja keras kita semua untuk kembali kepada kearifan lokal.
Tidak mudah memang untuk mengembalikan semua pada tempatnya. Lidah kita yang
sudah terbiasa dengan nasi, ayo biasakan kembali mengkonsumsi sagu dan
umbi-umbian. Saya yakin kita bisa, langkah sederhana dapat dimulai dari rumah
kita masing-masing. Cobalah belajar sehari saja, makan tanpa nasi dan hanya
makan sagu atau umbi-umbian. Pada acara kantor atau acara keluarga, di hotel
atau restoran untuk menyambut tamu dari luar Papua yang datang ke Papua, cobalah
menghidangkan sumber karbohidrat lokal ini. Mengapa pemerintah bisa berhasil
menasionalkan nasi ke lidah orang Papua? Tetapi tidak kita bisa menasionalkan
sagu ke orang Indonesia yang lain.
Aku
berharap, setiap daerah di tanah Papua berlomba-lomba menggelar Pesta Budaya
Pangkur Sagu, seperti lagu Pangkur
Sagu-nya Om Edo Kondologit. ***Anak kampung dari Merauke