Salah satu masalah bagi kita di Indonesia adalah tingginya konversi lahan atau alih fungsi lahan. Terjadinya alih fungsi lahan dapat menimbulkan degradasi lahan yaitu terbentuknya lahan kritis. Akibatnya lahan hutan harus terus dibuka untuk mendapatkan lahan baru yang produktif. Laju alih fungsi lahan yang produktif untuk kegiatan pertanian menjadi penggunaan lain seperti untuk pemukiman, perdagangan dan industri sangat besar di Pulau Jawa. Sehingga pemerintah harus membuka lahan pertanian baru di luar Pulau Jawa. Menurut data dari Kementrian Pertanian menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai 94.1 juta hektar (ha) lahan sesuai untuk pertanian, 63.7 juta ha sudah dijadikan lahan pertanian dan 30.4 juta ha berpeluang untuk perluasan areal pertanian. Faktanya, memang Tanah Papua sudah dikepung oleh Investasi Skala Besar pada sektor perkebunan kelapa sawit.
Oleh Mariana Lusia Resubun
Foto : Mariana Lusia Resubun./doc pribadi. |
Pernahkah anda menonton film Hollywood berjudul The Book Of Eli (2010)? Sebuah film yang diperankan dengan apik oleh Denzel Washington dan juga si cantik Mila Kunis. Saya bukan bercerita tentang isi film tersebut, saya hanya ingin mengajak pembaca untuk mengingat adegan di bagian awal film. Adegan ketika Eli (Denzel Washington) berada di sebuah hutan, kemudian Eli berburu makanannya, hewan buruannya bukan lah hewan yang lazim dimakan melainkan seekor kucing. Untuk bertahan hidup, Eli terpaksa harus memakan daging kucing. Setting film tersebut berada di suatu masa yang suram dan kelam, krisis makanan dan air bersih, lahan tandus dimana-mana. Untuk mendapatkan makanan dan air bersih orang saling membunuh.
Juanito Masangkay berjalan menembus gelap, menuju sawah. Bertani adalah mata pencahariannya, tetapi malam itu tak sedang bercocok tanam. Alih-alih cangkul, justru busur panah yang tersandang di bahunya. Sejak Februari lalu, hujan tak kunjung datang. Sawahnya kering kerontang. Tanaman padi tak sanggup hidup. Menjuntai kering dan cokelat di sela retakan tanah. Mungkin hanya keajaiban yang bisa memunculkan bulir-bulir beras dari sana. Juanito berburu tikus untuk memberi makan istri dan ketujuh anaknya. Daging tikus dimasak untuk dijadikan lauk, sedangkan ekor tikus dapat ditukar dengan beras kepada pemerintah. Karena tikus adalah hama pada tanaman padi (Ayuningtias 2015). Juanito adalah seorang petani di Filipina korban badai El Nino.
Kedua kisah di atas adalah sebuah ilustrasi betapa seksinya “Si CeCe”. Si CeCe bukanlah nama seorang gadis cantik nan seksi, CeCe adalah perubahan iklim (Climate Change). Mengapa si CeCe seksi? Si CeCe menjadi seksi karena seluruh dunia ramai membicarakannya, CeCe adalah “hot issue”. Mulai dari negara maju, negara berkembang, dan negara-negara kepulauan yang terkena dampak perubahan iklim ramai-ramai membicarakannya. Ilustrasi diatas mulai dari cerita rekaan dalam film “The Book of Eli” maupun kisah Juanito adalah sebuah cerita pengantar yang dapat dijadikan sebuah refleksi pribadi. Apabila kita tidak bijak menjaga alam, bisa saja kisah diatas menimpa kita atau anak cucu kita. Bencana alam dan kekeringan, wabah penyakit, krisis pangan dan air bersih adalah beberapa ancaman yang dapat terjadi akibat adanya perubahan iklim.
Pernahkah anda merasakan cuaca panas yang ekstrem lalu tiba-tiba menjadi dingin? Atau pernahkah anda merasakan hujan badai dengan petir yang menggelegar? Atau pernahkah anda menonton berita terjadinya banjir di suatu daerah namun di daerah lainnya terjadi kekeringan? Atau pernahkah anda mendengar keluhan para petani terutama petani padi yang kebingungan menentukan musim tanam, karena musim hujan sulit diprediksi lagi? Kalau anda pernah mengalami hal-hal yang saya sebutkan ini, berarti anda telah mengenal “Si Seksi CeCe”. Ya, bencana yang terjadi atau iklim yang sulit diprediksi adalah dampak dari perubahan iklim.
Perubahan iklim yang ekstrem terjadi karena menipisnya lapisan ozon yang melapisi atmosfer. Fungsi lapisan ozon seperti selimut tebal yang melindungi bumi dari radiasi sinar matahari. Namun karena lapisan ozon semakin menipis, maka radiasi sinar matahari akan langsung mengenai permukaan bumi tanpa filter. Lapisan ozon ini mulai menipis karena penggunaan gas freon (misalnya pada kulkas dan AC). Selain menipisnya lapisan ozon, penyebab perubahan iklim adalah meningkatnya gas-gas rumah kaca, berupa uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2) dan metana (CH4) menjadi perangkap bagi gelombang radiasi yang seharusnya memantul ke luar angkasa, menjadi terperangkap di bumi.
Menipisnya lapisan ozon dan meningkatnya gas-gas rumah kaca, merupakan penyebab terjadinya pemanasan global (global warming). Yaitu suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Akibat suhu muka bumi naik, es di kutub mencair. Beberapa teori sebagaimana dipresentasikan pada pertemuan tahunan American Geophysical Union di tahun 2007 meramalkan bahwa Kutub Utara akan bebas es pada musim panas tahun 2030 (Giddens, 2015). Mencairnya es di kutub, bukanlah sebuah prestasi melainkan sebuah musibah. Tinggi permukaan laut menjadi naik, mengganggu keseimbangan iklim, akan timbul berbagai bencana, serta bergesernya musim. Muncul pertanyaan, bagaimana nasib suku Eskimo, bagaimana nasib pinguin dan beruang salju di kutub. Bagaimana pula nasib kita yang berada di belahan bumi lain yang terkena dampak mencairnya es di kutub?
Revolusi industri di Inggris ditengarai sebagai pemicu munculnya si CeCe. Revolusi Industri merupakan periode antara tahun 1750-1850 di mana terjadinya perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia. Sejak munculnya revolusi industri segala kebutuhan dan pekerjaan manusia dimudahkan dengan adanya mesin-mesin, berbahan bakar minyak, gas dan batubara. Muncul berbagai jenis usaha pertambangan untuk “membelah” perut bumi untuk mengeluarkan isinya yang berharga. Manusia semakin kaya dan sejahtera, kegiatan pertanian, industri dan perdagangan semakin maju. Konsekuensinya semakin banyak hutan yang dibuka, semakin banyak pohon yang ditebang dan semakin banyak terjadi pencemaran udara, air dan tanah akibat aktivitas manusia.
Dunia semakin berkembang, teknologi semakin maju, manusia semakin banyak. Tentu saja untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia akan sandang, pangan dan papan, hutan harus terus dibuka. Lajunya angka deforestasi dan degradasi hutan ditengarai sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim. Deforestasi adalah proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan. Bisa juga disebabkan oleh kebakaran hutan baik yang disengaja atau terjadi secara alami. Sedangkan degradasi hutan adalah perubahan di dalam hutan yang bardampak negatif terhadap struktur atau fungsi tegakan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan dalam menyediakan jasa/produk hutan. Deforestasi dan degradasi hutan mengancam kehidupan umat manusia dan spesies mahluk hidup lainnya. Menurut laporan National Geographic Indonesia tahun 2014, Indonesia mengalahkan angka deforestasi Brasil di tahun 2012. Selain itu Indonesia merupakan negara yang memproduksi gas emisi rumah kaca ketiga terbesar di dunia, setelah Tiongkok dan AS dengan 85% emisi berasal dari kerusakan dan berkurangnya jumlah luas hutan di Indonesia. Hutan alam merupakan penyimpan karbon terbesar di dunia.
Berdasarkan data yang ada di Kementerian Kehutanan, penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia, antara lain karena kebakaran hutan, alih fungsi lahan hutan dan kemungkinan ada illegal logging (National Geographic Indonesia, 2014). Sebagai negara dengan populasi penduduk terbanyak urutan ke 4 dunia, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Tentu saja kita membutuhkan lahan sebagai tempat tinggal, lahan untuk kegiatan industri, lahan untuk pertanian, lahan untuk peternakan, lahan untuk pertambangan dan sebagainya. Konsekuensinya lahan hutan harus terus dibuka. Maka laju alih fungsi lahan hutan menjadi penggunaan yang lain (lahan pertanian, industri, pemukiman dan sebagainya) akan semakin tinggi. Belum lagi pembakaran hutan baik yang disengaja seperti untuk pembukaan lahan pertanian, maupun yang tidak disengaja. Atau kerusakan hutan karena kegiatan land clearing atau membuka hutan untuk kegiatan pertambangan. Atau maraknya kegiatan illegal logging atau pembalakan liar seperti yang marak terjadi di hutan Papua dan Kalimantan.
Hutan kita disebut sebagai “paru-paru” dunia, karena memberikan oksigen untuk dunia. Pohon-pohon di hutan, melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari mengubah karbondioksida menjadi oksigen untuk kehidupan kita. Hutan kita menyimpan karbon dari polusi kegiatan industri, asap kendaraan bermotor. Jadi bisa dibayangkan betapa terancamnya nasib kita apabila hutan tidak ada, namun emisi karbon semakin tinggi (emisi dari penggunaan bahan bakar fosil). Coba tanyakan kepada saudara-saudara kita di Kalimantan atau di Riau yang hampir setiap tahun menjadi korban kebakaran hutan. Apakah ada yang bercita-cita dan senang hidup dalam kondisi seperti itu? Kondisi ketika asap dimana-mana, jarak pandang menjadi sempit, banyak jadwal penerbangan dibatalkan, sekolah-sekolah di liburkan, anak-anak dan lansia menjadi terserang penyakit ispa (infeksi saluran pernapasan), serta tidak terhitung kerugiaan materi dan moril yang dialami.
Hutan kita semakin terancam namun disisi lain pembangunan harus terus dijalankan, penggunaan bahan baku fosil pun semakin meningkat. Apalagi kita yang hidup di negara berkembang, status sosial seseorang akan semakin tinggi apabila dia memiliki mobil. Saya tidak iri, tapi terkadang saya merasa sedih ketika hidup di kota Bogor. Kota yang dulu dikenal sebagai “Kota Hujan” namun telah beralih rupa menjadi “Kota Sejuta Angkot”. Satu hal yang membuat saya sedih adalah ketika saya naik kendaraan umum, panas-panasan dengan segala macam orang, siang terik dan macet, tenggorokan kering dan berkeringat. Namun ketika mata memandang keluar, hati terasa sakit melihat pemandangan “hanya 1 atau 2 orang” di mobil-mobil pribadi. Angkot dan kendaraan pribadi saling berebut jalan, dan jangan harap ada ruang untuk para pejalan kaki. Hanya ada debu dan asap kendaraan bermotor untuk para pejalan kaki. Saya berandai-andai apabila transportasi umum kita sudah sebagus alat transportasi umum di negara-negara maju, pasti tidak ada macet karena orang lebih memilih naik angkutan umum. Dan akan semakin baik lagi apabila alat transportasi tersebut berbahan bakar ramah lingkungan alias tanpa bahan bakar fosil.
Salah satu masalah bagi kita di Indonesia adalah tingginya konversi lahan atau alih fungsi lahan. Terjadinya alih fungsi lahan dapat menimbulkan degradasi lahan yaitu terbentuknya lahan kritis. Akibatnya lahan hutan harus terus dibuka untuk mendapatkan lahan baru yang produktif. Laju alih fungsi lahan yang produktif untuk kegiatan pertanian menjadi penggunaan lain seperti untuk pemukiman, perdagangan dan industri sangat besar di Pulau Jawa. Sehingga pemerintah harus membuka lahan pertanian baru di luar Pulau Jawa. Menurut data dari Kementrian Pertanian menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai 94.1 juta hektar (ha) lahan sesuai untuk pertanian, 63.7 juta ha sudah dijadikan lahan pertanian dan 30.4 juta ha berpeluang untuk perluasan areal pertanian (Pemikiran Guru Besar IPB, 2012).
Terkadang menurut saya ada pihak yang salah kaprah, menganggap bahwa lahan-lahan di Indonesia sama saja. Sama-sama subur dan cocok untuk dijadikan lahan pertanian khususnya padi sawah. Tanah dibentuk oleh bahan induk, waktu, vegetasi, iklim dan topografi. Indonesia adalah negara kepulauan sehingga memiliki karakteristik wilayah dan iklim yang berbeda-beda. Karena karakteristiknya berbeda, otomatis jenis tanah di suatu daerah berbeda dengan daerah yang lain. Namun karena orang Indonesia makanan pokoknya nasi, semua daerah di Indonesia harus ditanami padi.
Beberapa hari yang lalu saya melihat status seorang teman di Facebook dari Kampung Faan Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat. Teman saya tersebut mengeluhkan “hutan adat”nya yang dalam beberapa hari telah beralih rupa menjadi sawah. Ketika melihat gambar “sawah” yang dia posting, saya melihat batang-batang pohon yang tergeletak berantakan. Saya juga tidak melihat adanya pematang sawah atau petakan-petakan sawah. Saya juga bingung apa jenis padi yang ditanam, padi gogo (padi ladang) ataukah padi sawah. Saya mau bilang padi sawah tapi tidak ada pematangnya namun terlihat becek seperti habis disiram dengan air dari selang. Saya mau bilang padi gogo, tapi lahannya terlihat becek. Selain itu teman tersebut juga mengeluhkan hutannya yang biasanya ditumbuhi pepohonan dan ditanami umbi-umbian lokal telah beralih rupa menjadi sawah “instan”.
Contoh kegagalan pembukaan 1 juta ha lahan gambut di Kalimantan untuk menjadi persawahan seharusnya menjadi pelajaran berharga. Pelajaran bahwa tanah sebagai tempat berjangkarnya akar tumbuhan dan tempat tumbuhan mendapatkan air dan unsur hara, mempunyai syarat kemampuan dan kesesuaian lahan untuk dipergunakan. Ada syarat-syarat tertentu, misalnya dari segi kelerengan (lereng curam, sangat curam atau datar), irigasi, drainase, ada juga zat-zat beracun di dalam tanah yang tidak cocok bagi tanaman, ada juga salinitas atau kadar garam di dalam tanah yang tidak cocok bagi tanaman tertentu namun cocok bagi tanaman lainnya. Sehingga dalam menentukan jenis komoditas tanaman pangan yang cocok bagi suatu daerah, seharusnya spesifik lokasi daerah tersebut. Salah satu cara yaitu dengan tetap mempertahankan makanan pokok dari daerah tersebut. Misalnya di Papua tidak perlu hutan Papua terus dibuka untuk dijadikan persawahan, sehingga harus menggeser dusun sagu dan kebun umbi-umbian lokal.
Contoh di atas tentang kisah Juanito di Filipina yang merupakan korban El Nino seharusnya menjadi sebuah pelajaran bagi kita untuk menjaga alam dan hutan kita. El Nino adalah kondisi pemanasan laut yang tidak biasa di Samudera Pasifik sepanjang pantai Barat Ekuador dan Peru. El Nino yang berarti “anak lelaki” dalam bahasa Spanyol, mengacu pada bayi Yesus Kristus. Fenomena yang terjadi selama musim natal, terjadi setiap tiga sampai lima tahun. El Nino memiliki pengaruh besar terhadap kondisi iklim global karena bergerak melintasi seluruh dunia, mengikuti jalur khatulistiwa. Dampaknya dapat dilihat, banjir dan badai di beberapa daerah sedangkan di daerah lainnya mengalami kekeringan. Setelah 12-18 bulan biasanya fenomena berlangsung terbalik, menyebabkan suhu laut yang sangat dingin di Pasifik Khatulistiwa dan berdampak buruk terhadap kondisi cuaca (perubahan ini dikenal sebagai La Nina). Dalam beberapa tahun terakhir El Nino lebih sering terjadi, terjadi perubahan iklim sebagai dampak dari pemanasan global (Giddens, 2015).
Seperti saya ceritakan di atas, Si CeCe atau perubahan iklim ini menyebabkan kenaikan tinggi muka air laut akibat mencairnya es di kutub. Seorang sahabat saya ketika mengikuti Youth Camp Climate Change 2016 di Ciwidey Valley Bandung, mengeluhkan terjadinya rob (banjir air laut) di tempat asalnya Pekalongan. Rob merupakan peristiwa terendamnya wilayah daratan di daerah pesisir akibat meningkatnya volume air laut. Dahuri (2002) mengemukakan bahwa dampak pemanasan global menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut kemudian mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut. Menurut laporan SatelitPost(2015), Perdana Menteri Tuvalu, Enele Spoaga meminta bantuan kepada para pemimpin Eropa agar negaranya tidak lenyap dari muka bumi. Tuvalu adalah negara keempat terkecil di dunia yang terletak di Kepulauan Pasifik, yang terancam tenggelam oleh naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim. Coba anda bayangkan kalau hutan kita di Papua atau Kalimantan habis? Sebaiknya jangan dibayangkan! Karena kalau dibayangkan hanya akan membawa air mata, membayangkan bagaimana nasib anak cucu kita kelak.
Apakah anda telah berpendapat sama seperti saya bahwa CeCe itu seksi? Saking seksinya si CeCe, negara-negara maju akan membayar dengan sejumlah uang kepada negara-negara yang sedang berkembang untuk mengurangi emisi karbon atau gas-gas rumah kaca, dengan cara tetap mempertahankan hutan untuk menyimpan karbon. Menurut para ilmuwan, suhu pemanasan global harus tetap di bawah suhu 1,5 derajat Celcius. Suhu itu paling aman dibanding suhu saat pemanasan global saat ini 2 derajat Celcius. REDD, atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan) adalah sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK(Gas-gas Rumah Kaca) dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan (Green Peace Indonesia, 2010). Namun proyek REDD dirasa belum sempurna, masih ada kekurangan disana-sini, diantaranya bagaimana teknologi perhitungan karbon, bagaimana pembayarannya, bagaimana akuntabilitasnya (bagaimana kalau hutan tersebut sudah dibayar namun masih terjadi deforestasi), dan bagaimana pendanaannya.
REDD pertama kali dicanangkan pada COP (Conference of the Parties) 13 pada tahun 2007 di Bali. Konferensi ini digelar sebagai upaya lanjutan untuk menemukan solusi pengurangan efek gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Selain itu, pembicaraan juga akan membahas mengenai cara membantu negara-negara miskin dalam mengatasi pemanasan dunia. Konferensi ini diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) badan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mengurusi soal perubahan iklim. Peserta COP 13 diikuti oleh sekitar sembilan ribu peserta dari 186 negara. Selain itu ada sekitar tiga ratus LSM internasional yang terlibat (Wikipedia).
Setahun setelah COP 13, ditetapkan REDD-plus. Fokus REDD-plus sama dengan dengan fokus REDD yaitu mengurangi emisi dari deforestasi dan mengurangi emisi dari degradasi hutan, namun ditambah dengan beberapa strategi tambahan untuk untuk mengurangi emisi karbon. Beberapa strategi tambahan yaitu, peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan. Definisi yang lebih luas ini memudahkan negara-negara lain untuk ikut berpartisipasi. Apakah anda mulai pusing? Mulai merasa ngeri membayangkan nasib kita? Ayo berbuat sesuatu, cintai alam, hutan dan lingkunganmu. Langkah sederhana yang saya, kamu, dia dan semua orang bisa lakukan yaitu menanam pohon. Sudah saatnya kita membuka mata dan hati kita, bahwa isu lingkungan bukanlah tanggung jawab pemerintah atau “orang-orang besar” semata.
Berdasarkan data emisi nasional tahun 2000, sumbangan emisi gas rumah kaca pada sektor industri mencapai 370.428 giga CO2 (Kemenperin, 2016). Hal ini disebabkan karena industri kita belum menggunakan bahan-bahan kimia ramah lingkungan. Disisi lain kita di Indonesia juga masih menggunakan bahan bakar fosil baik untuk kendaraan bermotor maupun sebagai sumber energi. Untuk energi listrik, peningkatan kebutuhan listrik diprediksi tumbuh rata-rata sebesar 8.46 persen pertahun (Wahyudi, 2012). Selain itu untuk energi, kita belum banyak memanfaatkan sumber energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan, misalnya energi panas bumi atau memanfaatkan bioethanol. Berdasarkan data dari Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2014, hanya 8 persen dari total penyediaan energi nasional yang memanfaatkan EBT. Artinya 92 persen sumber energi listrik di Indonesia hanya memanfaatkan energi dari bahan bakar fosil.
Seperti sebuah benang kusut yang sulit untuk diurai, kita butuh hutan untuk melindungi kita dari perubahan iklim namun kita juga butuh lahan untuk produksi pangan. Mungkin kita perlu pendidikan cinta lingkungan sedari dini, dari TK misalnya sehingga kita lebih bijak mengelola alam. Negara Jepang misalnya, anak-anak TK sudah diajak turun ke sawah untuk melihat proses produksi padi. Seorang anak TK di dalam doanya, terselip ucapan terima kasih kepada petani yang telah menyediakan nasi. Di Jepang petani adalah profesi mulia, petani sangat dihargai, sehingga petani tidak perlu menjual sawahnya. Tidak ada petani miskin (petani penggarap/petani gurem) yang kehilangan mata pencahariannya, tidak ada pengangguran sehingga daerah produksi padi harus dikembangkan ke daerah lain. Tidak ada hutan yang terus dibuka sehingga mengancam keberadaan “Sang Pemilik Hak Ulayat”. Tidak ada hutan yang terus dibuka sehingga mengancam ekosistem dan keberagaman flora dan fauna diatasnya.
Seperti dua sisi mata uang, kita butuh energi berbahan fosil karena lebih terjangkau. Namun disisi lain sumber energi ini berdampak negatif bagi lingkungan. Mungkin kita perlu sedikit berkorban, mengeluarkan banyak biaya untuk memanfaatkan sumber energi baru terbarukan seperti energi panas bumi (geothermal), energi angin, bioethanol. Banyaknya biaya yang kita keluarkan akan terbayar, ketika alam kita tetap lestari dan anak cucu kita bisa hidup dengan nyaman tanpa adanya “ancaman” dari Si Seksi Cece. PILIHAN ADA PADA ANDA DAN SAYA, INGIN MEWARISKAN MATA AIR ATAU AIR MATA UNTUK ANAK CUCU KITA!!! Tapi ingat, “hari ini mungkin Tete (kakek) senang dapatkan Si Seksi CeCe, tapi esok Cucu sumpah-sumpah Tete, karena tanah habis terkapling untuk proyek-proyek pangan berkedok solusi iklim”. Proyek MIFEE sudah jadi contoh di Tanah Papua. Maaf banyak CoPas dari materi Komisi 2 Youth Camp Climate Change 2016 Ciwidey Valley.***Anak Kampung dari Merauke