Foto. Karl Marx |
Oleh: Katherine Yih (2)
Gerakan pro lingkungan di AS, menurut perkiraan Murray
Bookchin’s, “bisa jadi merupakan salah satu gerakan paling radikal dalam kurun
waktu mulai dari tahun enam puluhan hingga sekarang.” Perspektif ekologi
radikal, yang meliputi antara lain ekologi mendalam, ekologi sosial,
bioregionalisme, ekofeminisme, maupun pandangan-pandangan Marxis, semuanya
mengandung beberapa kritik mendasar atas tatanan politik/ekonomi/sosial yang
berkembang di dunia, yang karena itu membedakannya dari environmentalisme
arus-utama (terkemuka). Namun, sekalipun tanpa para environmentalis
arus-utama (terkemuka), apakah “gerakan” tersebut--yang lebih merupakan
pencampuradukan organisasi-organisasi yang terbangun oleh beragam idelogi dan
menerapkan strategi yang jauh saling berbeda--benar-benar memiliki kemauan atau
kemampuan untuk mewujudkan perubahan struktural yang dibutuhkan guna menunda dan
memulihkan kehancuran lingkungan?
Perspektif kiri dalam ekologi--khususnya ekologi sosial dan
pandangan-pandangan Marxis--paling menjanjikan dalam hal merumuskan dan
memecahkan persoalan seputar hubungan antara manusia dengan isi alam yang
lainnya. Mereka memberikan komitmen pada keadilan dan pemahaman bahwa
kapitalisme pada akhirnya menghalangi kesetaraan sosial maupun rasionalitas
ekologi. Kendati demikian, ada beberapa perbedaan penting di antara
pandangan-pandangan tersebut, yang berhubungan dengan keampuhan politisnya.
Salah satu titik perbedaan mendasar antara penganut ekologi
sosial dan kaum Marxis adalah tingkat penekanan yang mereka berikan untuk
persoalan-persoalan ekologis dalam keseluruhan program politik mereka. Penganut
ekologi sosial menempatkan ekologi sebagai elemen inti dalam program mereka,
dari situ semua yang lainnya dianggap kurang-lebih mengikuti. Bagi kaum Marxis
yang memiliki kepekaan ekologis, rasionalitas ekologis lebih merupakan sasaran
kritik yang terkait dengan persoalan lain dalam analisis dan program yang lebih
luas—menjadi merah sama perlunya dengan menjadi hijau.
Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah hal sepele dan
menimbulkan konsekuensi di lapangan. Sebagai contoh, di Burlington, Vermont (di
Burlington sebagian besar anggotanya penganut ekologis sosial), Partai
Hijau mengajukan seorang kandidat dalam
pemilu raya 1989, yang pertarungan utamanya adalah antara Partai Demokrat
dengan seorang kandidat independen yang didukung oleh kaum sosialis yang
tergabung dalam Koalisi Progresif. Sehingga keikutsertaan Partai Hijau
mengancam terpecahnya suara bagi Koalisi Progresif. Akhirnya, Koalisi Progresif
menang dengan mudah; hanya 3,4 persen suaranya yang terbagi untuk Partai Hijau.
Pada pemilihan anggota Dewan Kotapraja tahun 1990, kandidat Partai Hijau di
satu daerah pemilihan jelas-jelas menyatakan bahwa tujuannya bukanlah
kemenangan melainkan mengalahkan Koalisi Progresif; Koalisi Progresif
kehilangan daerah pemilihan tersebut dengan selisih suara yang tipis
dibandingkan dengan jumlah suara milik Partai Hijau.
Adalah penting untuk melihat ideologi dan analisis yang
mendasari ekologi sosial dan pandangan-pandangan Marxis tentang ekologi secara
lebih rinci guna mengevaluasi implikasi-implikasi politiknya dan potensi mereka
dalam menghadirkan tatanan sosial serta ekologi yang didambakan.
Ekologi Sosial
Karena berakar dari pandangan anarkis, maka ekologi sosial
sangat anti-kapitalis dan menolak semua bentuk dominasi. Banyak kaum Hijau-kiri
merupakan pendukung ekologi sosial; yang cukup dikenal adalah Murray Bookchin
yang, yang pertama kali, menggunakan istilah tersebut di tahun 1964 dalam
esainya Ecology and Revolutionary Thought.
Bookchin memandang kemerosotan kualitas lingkungan terkait
erat dengan kebutuhan/keinginan kapitalisme. Jadi, bukan industri dan teknologi
yang salah, melainkan sistem ekonomi yang tak pernah puas, yakni kapitalisme.
Selebihnya, sama seperti Marxis, ia menyatakan bahwa “kelas, juga eksploitasi,
merupakan landasan bagi akumulasi kapitalis dan keniscayaan menuju pembusukan
serta penghancuran planet ini.” (3)
Ekologi sosial memandang manusia terutama sebagai makhluk
sosial, bukan sebagai spesies yang tidak dapat dibeda-bedakan--makhluk sosial,
yang menurut Bookchin, “sangat berbeda-beda oleh karena status mereka sebagai
orang kaya dan miskin, lelaki dan perempuan, hitam dan putih, gay dan
heteroseksial ('straight’, tertindas dan penindas.” Ekologi sosial
“menekankan tuntutan keadilan dari kaum tertindas terhadap masyarakat yang
secara semena-mena mengeksploitasi manusia, karenanya membutuhkan kemerdekaan
kaum tertindas.” (4)
Meski mereka tak diragukan lagi humanis, ekologis sosial
tidak memandang alam semata-mata sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan
material manusia. Jelas sekali ada penilaian estetis seperti terlihat pada
kutipan ini: “Lepas dari bayang-bayang keraguan apapun, kita sangat membutuhkan
kepekaan ekologis--yang ditandai oleh ketakjuban pada evolusi alam dan semarak
biosfer dengan beragam bentuknya…Lebih dari itu, alam merupakan suatu proses
mengagumkan yang dapat dinikmati dengan caranya sendiri…. (5)
Masyarakat ideal, bagi penganut ekologi sosial, menurut
pendapat Howard Hawkins, adalah sebuah “konfederasi non-hirarkis--masyarakat
tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, dan demokratis, yang berbasiskan
kepemilikan bersama atas alat-alat produksi,” (6) atau, dalam kata-kata
Bookchin, “masyarakat berorientasi ekologis yang berbasiskan
komunitas-komunitas dengan tata-nilai kemanusiaan yang bersifat bebas,
terkonfederasi, yang di dalamnya manusia akan memiliki kendali langsung, tanpa
perantara/ perwakilan, atas kehidupan sosial dan perorangannya.” (7)
Hawkins mengkaji aspek langsungnya, tanpa
perantara/perwakilan: “Dengan melandaskan diri pada majelis kerakyatan sebagai
kesatuan publik non-hirarkis yang menangani semua kepentingan sosial seperti
ekonomi [model anarko-komunis], maka akan terbangun solidaritas sosial yang
lebih solid ketimbang memfokuskan diri pada persoalan ekonomi secara lebih
sempit seperti model dewan. Dengan menyatukan kembali produksi dan konsumsi,
anarko-komunisme hendak menghindari pembagian antara satuan-satuan usaha dan
konsumsi yang berbeda-beda, kepentingan-kepentingan ekonomi yang
terpisah-pisah, dan kemungkinan munculnya hirarki di antara mereka."
Asumsi yang digunakan adalah bahwa dalam masyarakat tanpa
kenegaraan, terdesentralisasi, demokratis, dan dengan tata-nilai kemanusiaan,
maka manusia akan memiliki kendali yang lebih besar atas masyarakatnya dan
saling memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar satu sama lainnya, yang
akan membuat mereka mengelola lingkungan dan sumber daya alamnya secara
rasional.
Tentang bagaimana cara untuk menuju ke sana, beberapa
penganut ekologi sosial, seperti Brian Tokar, mengatakan bahwa caranya adalah
dengan menciptakan alternatif-alternatif yang telah berjalan dengan baik,
khususnya bioregionalisme, dikombinasikan dengan konfrontasi langsung dengan
perangkat-perangkat/lembaga-lembaga kapitalis (contohnya demonstrasi di Wall
Street setelah Hari Bumi, 23 April 1990). (9) Para bioregionalis, yang tidak
semuanya mengaku sebagai ekologi sosial, mendukung penarikan diri yang lebih
besar dari ekonomi pasar dan memantapkan kemandirian pencukupan kebutuhan
regional serta hubungan ekonomi kerjasama di antara komunitas-komunitas yang
disatukan.
Ketika strategi ini dijalankan, pandangan tentang masyarakat
alternatif tersebut terjerumus dalam tradisi utopian, miskin akan teori yang
teruji tentang bagaimana transisi terjadi di bawah hegemoni kapitalis. Bukannya
menganggap negara sosialis sebagai tahap yang diperlukan menuju masyarakat
tanpa kelas, misalnya, namun kaum ekologis sosial (seperti Bookchin dan
Hawkins) justru menolak habis negara, yang menurut mereka sudah pasti merupakan
lembaga hirarkis dan tidak demokratis. Juga tak ada pemikiran mengenai dunia
ketiga--bagaimana dunia ketiga terkait dengan negeri-negeri maju dalam hubungan yang tidak setara, dan
bagaimana aksi di satu tempat mempengaruhi keadaan di tempat lain.
Marxisme dan Ekologi
Marxisme, sebagai filsafat dan teori ekonomi-politik,
menyediakan kerangka yang lebih luas dan matang ketimbang ekologi sosial.
Karena itu, keduanya lebih berguna untuk memahami dunia, termasuk dunia “alam”,
dan memberikan landasan yang lebih kokoh bagi tindakan politik. Dua aspek dari
teori Marxis yang paling relevan untuk memahami dan melakukan aksi atas isu-isu
tentang ekologi serta lingkungan adalah materialisme dialektik dan teori
akumulasi.
Materialisme dialektik, sebagai filsafat, menjadi ada dan
menyadari relevansinya dengan diskusi ekologi karena implikasinya pada cara
kita memahami alam. Kini sudah menjadi pemahaman umum di kalangan ekologis
profesional bahwa alam tidaklah statis, bukan sesuatu yang selalu sama,
sekalipun tanpa gangguan manusia. Dengan ukuran komunitasnya maupun dengan
ukuran biosfernya, alam tidak berada “dalam keseimbangan”, tidak juga berada
dalam “keadaan terbaik”-nya. Kita tahu tidak ada kekuatan apapun yang dapat
memastikan kesetimbangan stabil dari jumlah populasi ataupun komposisi spesies
dari komunitas-komunitas. Jadi pernyataan tentang keseimbangan dan keselarasan
bersifat idealis dan ideologis. (“Keseimbangan alam” dinyatakan sebagai analog
dari “tangan yang tak terlihat” dalam ekonomi--di mana persaingan di antara
kekuatan-kekuatan yang berbeda dianggap akan meleburkan dirinya dalam sistem
yang seimbang dan stabil.) (10)
Dalam esai mereka Dialectics and Reductionism in Ecology
(dialektika dan reduksionisme dalam ekologi), Richard Levins dan Richard
Lewontin melancarkan kritik atas idealisme dan juga menolak materialisme
reduksionis. Sebagai gantinya mereka mengajukan pendekatan materialis dialektik
untuk mengkaji alam. Reduksionisme menggunakan asumsi dasar bahwa fenomena
dapat digambarkan secara keseluruhan sebagai gejala dari obyek yang terisolasi,
atau dengan kata lain, bahwa “yang keseluruhan” (misalnya komunitas), dapat
dipahami semata sebagai penjumlahan dari “yang sebagian” (misalnya spesies
dalam komunitas), yang tidak memiliki gejalanya sendiri. Namun, dalam
reduksionisme, bagian maupun keseluruhan sama sekali tidak saling menentukan
atau mempengaruhi. Keyakinan reduksionis akan dunia atomistik tersebut
menyebabkan kegagalan teori ilmiah dan aplikasinya--karena membenarkan penelitian atas bagian-bagian
dalam sekat-sekat pembatas antara satu sama lainnya dan meremehkan kebutuhan
untuk memahami saling keterhubungan, asal-usul saling keterkaitan, dan
sifat-sifat dari keseluruhan yang rumit.
“Ekologi harus menjawab persoalan saling ketergantungan dan
otonomi relatif, kemiripan dan perbedaan, umum dan khusus, kesempatan dan
kebutuhan, keseimbangan dan perubahan, kontinuitas dan diskontinuitas,
proses-proses kontradiktif,” tulis mereka. Menurut mereka filsafat yang efektif
untuk memahami karakteristik dan proses-proses tersebut adalah materialisme
dialektik, yang “tesis utamanya adalah pendapat bahwa alam mengandung
kontradiksi-kontradiksi, bahwa ada kesatuan dan interpenetrasi dari apa yang
kelihatannya eksklusif tak saling pengaruh, dan karenanya isu utama bagi ilmu
pengetahuan adalah kajian tentang kesatuan dan kontradiksi tersebut.” (11)
Mungkin berlebihan jika berpendapat bahwa seseorang harus
menjadi Marxis terlebih dulu untuk menjadi ilmuwan yang baik, kritis, sadar
akan kontradiksi dalam alam dan menyadari asumsi-asumsi perorangan. Namun
Levins dan Lewontin memberi alasan kuat--dengan didukung oleh contoh-contoh
ekologi populasi dan komunitas, mereka mengatakan bahwa, bagi kita, tak cukup
sekadar menggunakan pendekatan materialis, melainkan harus menggunakan
pendekatan materialis dialektik pada hal-hal khusus agar dunia menjadi masuk
akal. Pendapat tersebut benar, khususnya dalam ekologi, karena melibatkan
penelitian atas sistem yang kompleks secara intrinsik. Hal tersebut mendukung
janji-janji materialisme dialektik untuk menjadi alat yang dapat lebih
diandalkan ketimbang alat konvensional--yakni cara-cara reduksionis, yang menggunakan
ilmu pengetahuan untuk mengalihkan teknologi padat modal dan energi menjadi
teknologi yang lebih “padat-ide”. (12)
Aspek khusus lain yang relevan dari Marxisme adalah teori
akumulasi, yang menjelaskan bahwa syarat pertumbuhan kapitalisme dihasilkan
dari upaya kekuatan-kekuatan (perusahaan) dalam menghadapi tekanan-tekanan
kompetisi di antara mereka, sehingga memaksa mereka memotong biaya dan
mengakumulasikan modal sebagai cara untuk bertahan hidup. Teori tersebut
menjelaskan kebutuhan kekuatan-kekuatan kapitalis yang berkompetisi untuk
mengeksternalkan sebanyak mungkin biaya produksi menjadi beban masyarakat dalam
jumlah besar, termasuk biaya “cuci tangan”--(berupa) insentif tetap bagi
aktivitas produksi dan konsumsi yang menghasilkan banyak limbah; dan ekspansi
internasional kekuatan kapitalis ketika mereka mencari pasar baru, sumber daya
baru dan, lebih banyak lagi tempat baru untuk membuang limbahnya. Sehingga,
terdapat konflik mendasar antara kapitalisme dan rasionalitas ekologis. Seperti
yang dikatakan oleh Paul Sweezy, bahwa catatan buruk kapitalisme (di bidang
lingkungan) disebabkan oleh sifat bawaannya yang mengusung proses akumulasi
modal yang tak terkendali. Sistem tersebut tak memiliki mekanisme
pengerem/pengendali selain krisis ekonomi berkala; satuan-satuan individual
yang menyusunnya--modal yang terpisah-pisah--harus tanggap terhadap
peluang-peluang meraup keuntungan dalam jangka pendek, atau tersingkir; tak ada
bagian dalam sistem itu yang membuka diri atau sesuai dengan suatu perencanaan
jangka panjang yang mutlak sangat penting bagi pelaksanaan sebuah program
ekologi yang efektif. (13)
Banyak yang berpendapat, merujuk pada catatan lingkungan
negeri-negeri sosialis maju, bahwa sosialisme bukan solusi, dan menegaskan
bahwa negeri sosialis juga berada di bawah tekanan besar untuk mengakumulasikan
modal, mendorong perilaku yang sama dengan perusahaan-perusahaan kapitalis.
James O’Connor membantah pendapat kebanyakan tersebut dengan mengatakan bahwa
tekanan untuk mengurangi biaya lebih kecil di dalam negeri sosialis (maupun
dalam satuan-satuan produksinya) ketimbang dalam perusahaan-perusahaan
kapitalis--karena perusahaan-perusahaan kapitalis dibimbing oleh norma-norma
pasar; sedangkan perusahaan-perusahaan sosialis dibimbing oleh norma-norma
politik. Walaupun pertumbuhan ekonomi juga menjadi tujuan kunci dalam negeri
sosialis, namun tak ada kebutuhan pertumbuhan sistemik dalam kadar yang sama.
Pertumbuhan lebih cenderung menjadi sebuah keputusan politik…. Memang, watak
pengerukan sumber daya yang berani dan tak terencananya bertujuan demi
pemanfaatan, bukan demi keuntungan, dan pertumbuhan dipandang sebagai sarana,
bukan merupakan tujuan antara maupun tujuan akhir, kendati dalam prakteknya
tentu tidak selalu demikian. (14)
O’Connor berpendapat bahwa ekonomi sosialis berpotensi menggunakan dan membuang sumber daya dalam jumlah yang lebih kecil ketimbang ekonomi kapitalis, dan konsumsi personal di bawah sosialisme menghasilkan lebih sedikit polusi. Karena dipaksa oleh permintaan, ekonomi kapitalis didasarkan pada pemenuhan kebutuhan berbentuk komoditi, melibatkan penciptaan “kebutuhan-kebutuhan” yang diindividualkan dalam semua jenis komoditi. Di lain pihak, ekonomi sosialis menekankan konsumsi kolektif, tempat pemberhentian massal, fasilitas rekreasi dan liburan bersama, penanganan kesehatan bersifat pencegahan, dan permukiman bersama. Sehingga, seperti juga dikemukakan oleh Sweezy dan Magdoff, (15) negeri-negeri sosialis setidaknya berpotensi membuat beberapa kemajuan signifikan menuju produksi yang rasional secara ekologis.
Keterangan:
1. The Red and the Green: Left perspectives on Ecology, Monthly Review, Okt, 1990.
2. Katherine Yih adalah seorang ekologis yang aktif di New
World Agriculture Group dan melakukan kerja solidaritas ilmiah untuk Nikaragua.
3. Murray Bookchin, Zeta, April 1989, halaman 3.
4. Murray Bookchin, The Guardian, 3 Agutus 1988, halaman 23.
5. Ibid.
6. Howard Hawkins, Resist, Juli-Agustus 1989, halaman 4.
7. Murray Bookchin, The Guardian, 3 Agustus 1988, halaman
23.
8. Howard Hawkins, Zeta, Juli-Agustus 1989, halaman 152.
9. Brian Tokar, berbicara di Mount Holyoke College, South
Hadley, Massachusetts, 19 April 1990.
10. Gagasan tersebut disajikan dan dikaji oleh Richard
Lewontin dalam esainya (yang tidak dipublikasikan) pada tahun 1989 Dialectics
of Nature. Analogi “tangan yang tak terlihat” dibuat untuk saya oleh seorang
ekologis, Douglas Boucher.
11. Richard Levins dan Richard Lewontin, editor, The
Dialectical Biologist (Cambridge: Harvard University Press, 1985).
12. Konsep dan istilah tersebut terdapat dalam esai Richard
Levins (yang tidak dipublikasikan) Toward a Gentle, Thought-Intensive
Technology, 1985.
13. Paul Sweezy, Socialism and Ecology, Monthly Review,
September 1989, halaman 7.
14. James O'Connor, Zeta, Juni 1989, halaman 32.
15. Paul Sweezy, Socialism and Ecology, Monthly Review,
September 1989; Paul Sweezy dan Harry Magdoff, Capitalism and the Environment,
Monthly Review, Juni 1989.