JANGAN RUSAK RUMAHKU !!!

0
Oleh: Mariana Lusia Resubun
Foto : Marioana Lusia Resubun./Doc.pribadi.

Bagi para pecinta tanaman hias, petani, maupun mahasiswa jurusan pertanian, rumah kaca (green house) merupakan sesuatu yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Sebuah bangunan tempat menumbuhkan tanaman, dimana suhu, cahaya, kelembapan dan segala hal untuk pertumbuhan tanaman dapat dikontrol sehingga tanaman dapat bertumbuh dan berproduksi dengan optimal. Tempat yang paling baik untuk bertanam cabe di musim hujan, tidak perlu khawatir tanaman cabe mati akibat terserang penyakit. Tanaman cabe dapat berproduksi dengan baik dan tentunya membawa keuntungan bagi petani karena harga cabe yang tinggi di musim penghujan. Selain itu, di belahan bumi lain yang memiliki 4 (empat) musim dalam setahun, rumah kaca dimanfaatkan untuk berkebun pada musim dingin (salju). Rumah kaca ini berbahan kaca atau plastik, cobalah masuk ke dalamnya ketika matahari tepat di atas kepala, bagiku serasa akan pingsan (pengalaman masuk ke dalam rumah kaca di masa kuliah dulu) karena udara panas yang berasal dari matahari, masuk dan tidak dipantulkan keluar, hanya tertahan di dalam bangunan rumah kaca tersebut.

Para ilmuwan menganologikan bumi seperti rumah kaca yang menyerap dan “tidak” memantulkan kembali panas matahari yang jatuh ke bumi. Sebenarnya “efek rumah kaca” ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Suhu rata-rata bumi sekarang sebesar 15 °C, bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C dari suhunya semula, jika tidak ada “efek rumah kaca” suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi. Segala sumber energi yang ada di bumi berasal dari matahari, ketika sampai ke bumi energi matahari berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya yang berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. “Efek rumah kaca” menjadi negatif ketika “gas rumah kaca” berupa uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2) dan metana (CH4) menjadi perangkap bagi gelombang radiasi yang seharusnya memantul ke luar angkasa, menjadi terperangkap di bumi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemanasan global (global warming), yaitu suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Sedangkan penyebab meningkatnya “gas-gas rumah kaca” di bumi adalah karena semakin meningkatnya jumlah pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya, yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya (sumber: Wikipedia Indonesia). Inilah alasan mengapa dunia menyebut hutan Papua dan Kalimantan sebagai “paru-paru dunia”, karena salah satu peran dari hutan adalah sebagai penyaring “gas-gas rumah kaca”.

Anda dan saya tentu menyadari betapa panasnya suhu di sekitar kita belakangan ini. Kita juga dapat melihat betapa tidak dapat diprediksinya kedatangan musim hujan ataupun kemarau yang mengakibatkan kerugian bagi para petani karena musim tanam yang seharusnya dilakukan pada musim kemarau ternyata malah hujan. Masih ingatkah kita tentang berita di bulan Juli 2015, ketika saudara-saudara kita di Kabupaten Lanny Jaya mengalami kekeringan selama satu bulan dan setelah itu terjadi hujan es. Dampak dari peristiwa ini dilaporkan ada 11 warga meninggal dunia. Sebagai perantauan yang jauh dari Merauke, saya mengikuti perkembangan kota Merauke dengan melihat “status” teman-teman di media sosial Facebook. Menurut pengamatan saya, rata-rata teman-teman mengeluhkan udara kota Merauke yang dirasa sangat panas dan juga merindukan turunnya hujan. Akibatnya ada pula teman yang menulis “status”, tidak masuk kantor atau terlambat pergi ke kantor karena tidak ada air untuk mandi. Datangnya musim hujan atau kemarau yang sulit untuk diprediksi, musim kemarau yang berkepanjangan, atau duka yang dialami oleh saudara-saudara kita di Kabupaten Lanny Jaya merupakan beberapa dampak dari pemanasan global.

Selanjutnya kita sebagai masyarakat kota Merauke, khususnya generasi muda yang notabene adalah bagian dari planet bumi. Apakah yang dapat kita perbuat untuk menyelamatkan bumi ini? Sadarkah kita kalau kita mempunyai kekayaan alam yang apabila kita kelola dengan baik akan menjadi salah satu “benteng” atau “rumah yang kokoh” yang mampu melindungi kita dari ancaman pemanasan global, yaitu dengan adanya lahan basah. Lahan basah adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Termasuk dalam golong lahan basah ini, di antaranya adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin (sumber: Wikipedia Indonesia).

Setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai hari lahan basah sedunia. Taman Nasional Wasur merupakan lahan basah yang telah terdaftar dalam situs lahan basah dunia. Kawasan lahan basah terbukti menyimpan sejuta manfaat yang bisa diambil bagi kehidupan. Manfaat langsung yang dapat diperoleh oleh adanya lahan basah dapat dilihat di pesisir pantai. Adanya hutan mangrove (bakau) yang merupakan bagian dari lahan basah berfungsi sebagai tameng dari merembesnya air asin ke daratan, pelindung dari badai dan bahaya banjir, serta melindungi dari erosi. Sekaligus sebagai penyaring dan penjernih air dari sedimentasi, nutrien dan pencemar, merupakan daerah penyedia air bersih.

Penduduk kota Merauke mendapatkan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga dari Rawa Biru yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Wasur. Sering muncul pertanyaan di benak saya, apakah uang bulanan untuk membayar air dari Rawa Biru tersebut, ada sekian persen untuk masyarakat asli pemilik hak ulayat? Adakah pembayaran jasa lingkungan atas hutan yang mereka jaga sehingga air terus mengalir untuk kita konsumsi? Pembayaran jasa lingkungan adalah instrumen berbasiskan pasar untuk tujuan konservasi, berdasarkan prinsip bahwa siapa yang mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan, harus membayar untuk keberlanjutan penyediaan jasa lingkungan, dan siapa yang menghasilkan jasa tersebut harus diberi kompensasi. Artinya harus ada kompensasi atau insentif dari kita sebagai pengguna air dari Rawa Biru kepada masyarakat asli. Setidaknya mungkin ada sedikit dari uang bulanan kita untuk anak-anak Kampung Rawa Biru yang datang bersekolah di kota, sebuah kompensasi untuk tempat tinggal mereka, untuk makan dan untuk kebutuhan pendidikan mereka. Bukankah air adalah sumber kehidupan? dengan air dari Rawa Biru, kita di kota dapat menggunakan air tersebut untuk minum, untuk mandi agar bisa pergi ke sekolah atau pergi ke kantor, kita dapat belajar, bekerja dan berkarya. Lalu apa yang dapat kita berikan kepada mereka sang empunya hak ulayat? Melalui pembayaran jasa lingkungan dari kita untuk mereka, diharapkan generasi muda dari Kampung Rawa Biru dapat mewujudkan impian dan cita-cita mereka. Menjadi cendekiawan-cendekiawan muda yang berilmu, adil, arif dan bijaksana sehingga akan mampu mengelola alamnya dengan bijak. Oleh karena itu mari kita berbuat sesuatu untuk mereka yang secara tidak langsung menunjang kehidupan kita. Jujur, saya belum pernah pergi ke Rawa Biru, tetapi melihat postingan foto teman-teman di Facebook tentang Rawa Biru dan menurut cerita teman-teman yang sudah kesana, pada sumber air kita ada invasi tumbuhan pengganggu (gulma air) seperti rumput pisau dan tebu rawa. Invasi gulma air ini tentu menyebabkan badan air menjadi semakin kecil sehingga mengancam ketersediaan air kita, juga dapat menyebabkan hilangnya ikan endemik karena perebutan oksigen dengan akar dari gulma air tersebut. Mungkin perlu restorasi danau Rawa Biru seperti yang sering kita lihat di televisi, upaya restorasi sungai-sungai yang sering banjir di Pulau Jawa, mungkin dengan penggunaan alat-alat berat atau apapun yang aman digunakan untuk memberantas gulma air ini sehingga tidak mengganggu dan menyebabkan kerusakan ekosistem.

Lahan basah tidak saja bermanfaat bagi manusia tetapi yang paling utama merupakan tempat hidup flora dan fauna, merupakan sumber keanekaragaman hayati. Aneka flora penyusun vegetasi lahan basah seperti: akasia (Acacia spp), sagu (Metroxylon sagu), kayu putih (Melaleuca leucadendron), kayu bus (Eucalyptus pellita), pisang (Musa paradisiaca), kelapa (Cocos nucifera), pinang (Areca catechu), kemiri (Alereutes sp), kapok randu (Ceyba petandra), alang-alang (Imperata cylindrica), keladi (Colosacia eseulenta), jarak (Ricinus comunis) dan lain-lain. Hijaunya aneka tumbuhan ini berfungsi sebagai pabrik penghasil oksigen yang gratis kita dapatkan tanpa membeli. Sekaligus merupakan penyaring “gas-gas rumah kaca” yang mencemari udara seiring dengan bertambahnya penggunaan kendaraan bermotor dan lajunya arus modernisasi di kota Merauke. Selain itu terdapat aneka fauna yang hidup disini seperti rusa jawa (Cervus timorensis), kangguru cokelat/saham (Dendrolagus inustus), kasuari gelambir ganda (Casuarius casuarius), kuskus abu-abu (Phalanger gymnotis), babi hutan (Sus crofa), cendrawasih dada kuning (Loboparadisea sericea), belibis (Anas waigiuensis), elang rawa (Circus aeruginosus), walet papua (Mearnsia novaeguineae) dan lain-lain, juga aneka reptil endemik. Ikan rawa seperti, arwana (Sceleropages jardini Gthr), kakap (Lates calcarifer Bloch), gabus (Oxyeleotris herwerdinii), betik (Anabas testudineus), lele (Clarias batrachus) serta udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan kepiting bakau (Scylla serrata).

Selain air bersih yang kita peroleh sebagai salah satu manfaat dari lahan basah, aneka flora dan fauna yang hidup di lahan basah juga mempunyai andil besar dalam hidup kita, sebagai sumber pangan dan sumber papan. Aneka hewan seperti rusa, kangguru (saham) dan ikan menjadi sumber protein hewani kita. Hasil kekayaan lahan basah lainnya seperti batang pohon yang diolah menjadi lembaran-lembaran papan dan penambangan pasir, sebagai bahan untuk membangun rumah. Pada hakekatnya semua kekayaan alam ini diberikan Tuhan dengan cuma-cuma demi kelangsungan hidup manusia, sehingga kita wajib menjaga dan melestarikannya. Karena ingat apa yang kita tanam, itulah yang kita petik. Kalau kita arif memanfaatkan apa yang diberikan alam dengan tidak serakah, alam akan memberikan yang terbaik bagi kita. Alam menjadi sahabat kita, rumah yang nyaman dan aman yang melindungi kita dari berbagai bencana, termasuk dari ancaman pemanasan global. Namun sebaliknya, apabila yang kita tanam adalah keserakahan dengan seenaknya merusak alam, seperti penebangan liar dan pencurian kayu yang merusak habitat aneka flora dan fauna, perburuan liar tanpa adanya tindakan konservasi terhadap satwa endemik dan hewan yang dilindungi akan membuat angka populasi aneka satwa makin kecil, atau melakukan penambangan pasir liar maka bencanalah yang akan kita terima. Semoga ada kesadaran untuk melakukan tebang pilih, sehingga hanya pohon yang sudah cukup umur yang dapat diambil kayunya dan juga melakukan reboisasi (penanaman kembali) setelah menebang pohon. Langkah sederhana di rumah masing-masing untuk konservasi air, adalah dengan menanam berbagai jenis pohon di halaman rumah kita. Misalnya menanam pohon buah-buahan, seperti: mangga, jambu air, jambu biji, jeruk, pohon asam, pohon ketapang dan sebagainya. Selain akarnya dapat menyerap dan menahan air, juga dapat menjadi AC (Air Conditioner) alami karena menghasilkan udara segar (oksigen) melalui proses fotosintesis. Buah-buah dari pohon tersebut dapat kita nikmati secara gratis, bahkan dapat menjadi sumber penghasilan apabila dijual.

Menyelamatkan bumi ini dari dampak pemanasan global, tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi setidaknya melalui suatu usaha yang tulus dengan menjaga dan melestarikan apa yang kita punya dengan tidak merusaknya dan disertai dengan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, akan ada harapan dan warisan buat anak cucu kita kelak. Saya berharap ada suatu usaha yang sungguh-sungguh dari pihak terkait dan kita semua penduduk kota Merauke, untuk melestarikan rusa, kangguru/saham dan kasuari kita. Jangan seperti yang saya tonton di salah satu stasiun televisi nasional yang meliput penangkaran rusa di Merauke, rusa makannya mie instan. Apakah dengan makan mie instan rusa bisa tumbuh sehat, aktif dan produktif? Saya berharap setidaknya nanti anak cucu kita tidak akan bertanya seperti apa bentuk rusa karena yang mereka pelajari di bangku sekolah adalah ikon kota Merauke, Merauke Kota Rusa. Sebuah pertanyaan yang muncul akibat rusanya telah punah, karena bagaimana rusa mau hidup, kalau rumahnya, habitat hidupnya dan lahan basahnya, Taman Nasional Wasur rusak. Oleh karena itu, JANGAN RUSAK RUMAHKU!!!. ***Anak Kampung dari Merauke.



Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Menerima!) #days=(20)

Blog kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Pelajari
Accept !
Ke Atas