Oleh : Mariana Lusia Resubun
Foto : Marioana Lusia Resubun./Doc.pribadi. |
Saya anak Merauke yang lahir di Senggo (Kabupaten Mappi) dan sekarang sedang berada di Bogor, sedikit bercerita sebagai anak rantau dan yang selalu bikin kangen untuk pulang Merauke, karena: 1. tempat tinggal orang tua saya; 2. Kota Merauke bisa dikatakan Indonesia mini, dimana semua suku bangsa dan agama bisa hidup rukun dan damai dengan menjunjung tinggi toleransi; 3. Makanannya yang selalu bikin kangen karena “fresh from the oven”.
Ketika saya pulang berlibur ke Merauke dan balik ke Bogor selalu membawa berjuta bekal, berupa ikan mujair goreng, ikan bandeng goreng, udang goreng, daging rusa goreng, ikan paha goreng, ikan betik goreng, dan rendang daging sapi dari rumah makan padang di Merauke (karena rasanya lebih enak dan potongan dagingnya jauh lebih besar dibandingkan daging rendang di rumah makan padang yang ada di Bogor). Berbicara soal makanan yang saya katakan” fresh from the oven” karena ikan dan udang segar dapat dibeli pada sore hari di pasar baru Merauke (pasar atas/pasar di belakang lapangan pemda Merauke). Ikan dan udang ini segar karena baru ditangkap dari sungai/kali atau rawa atau dari pantai. Harga perekor/pertumpuk sangat terjangkau, berkisar antara Rp 15.000 sampai Rp 50.000 (kalau tidak ada kenaikan harga). Ikannya masih segar dan terkadang ada yg masih hidup ikan lele/ikan betik. Rasa ikannya masih segar, manis, gurih dan legit karena langsung ditangkap dari alam, berbeda dengan ikan yang ditambakkan seperti ikan gurame dan mujair/nila/lele yang saya konsumsi di Bogor. Rasa ikan yang ditambakkan kurang gurih dan tekstur dagingnya bagi saya bagaikan kapas. Sehingga selalu menjadi bahan perdebatan saya dan mama ketika mau balik ke Bogor,mama selalu bilang seperti bawa barang satu “kontainer” karena membawa banyak bekal makanan. Bekal yang saya bawa ini akan saya bagi dengan teman perantauan dari Makassar, Aceh, Padang, Riau dan Jawa. Saya ingin teman-teman tahu bahwa ucapan saya soal makanan (ikan, udang dan daging segar) bukan bualan. Teman-teman dapat merasakan nikmatnya makan makanan yang asli dari alam. Walaupun benih ikan mujair atau lele oleh Dinas Perikanan benihnya disebar ke sumber-sumber air (sungai, kolam dan rawa), tetapi ikan-ikan ini survive untuk hidup di alam liar bukan ditambakkan. Hal ini disisi lain mengancam spesies ikan lokal seperti ikan oliv, bambit dan ikan kaca, yang sudah jarang kita temukan lagi. Ukuran seekor ikan mujair yang saya bawa beratnya kurang lebih 3,5 kg saya beli di pasar seharga Rp 35.000/per ekor, jika dibandingkan dengan harga ikan gurame di Bogor yang harganya Rp 45.000 sampai Rp 55.000 ribu rupiah per kilonya. Sungguh beruntunglah kita orang Merauke, apapun yang ingin kita makan terjangkau oleh kantong kita. Ketika saya makan ikan gurame di salah satu restoran di Bogor, saya bertanya-tanya apa sih keistimewaan ikan ini sehingga harganya begitu mahal. Menurut saya ikan mujair apalagi ikan betik jauh lebih enak dibanding ikan gurame ini. Saya juga penikmat pecel lele di Bogor, walaupun tekstur dan rasanya kalah jauh dengan ikan lele dari rawa atau sungai di Merauke. Ada satu pengalaman ketika mama saya mengirim ikan dan udang yang harus saya jemput di Bandara Soekarno-Hatta, saya bertemu dengan salah seorang dosen saya dari IPB (Institut Pertanian Bogor). Beliau menertawakan saya karena jauh-jauh dari Bogor menghabiskan uang transportasi sebesar Rp 166.000 (ongkos angkot pulang-pergi dari kos ke terminal DAMRI sebesar Rp 16.000 dan dari terminal DAMRI ke bandara pulang-pergi sebesar Rp 150.000). Sedangkan harga kiriman mama saya mungkin paling besar sebesar Rp 80.000. Melalui pengantar cerita saya yang panjang ini, ada sesuatu yang ingin saya bagi tentang program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).
Dulu sebelum menjadi anak rantau saya bangga dengan MIFEE dan pencanangan kabupaten Merauke menjadi lumbung pangan nasional. Namun ketika di rantau pemahaman saya terbuka, ketahanan pangan untuk siapa? Dalam suatu mata kuliah ada tugas membuat prediksi ketahanan pangan dari daerah masing-masing, saya sangat bangga ketika pangan khususnya beras dalam simulasi saya itu surplus. Tapi pertanyaan saya sekarang apakah ketahanan pangan itu dinikmati oleh orang asli Merauke, masyarakat Marind? Pembukaan lahan besar-besaran untuk dijadikan lahan pertanian secara umum (sawah, perkebunan sawit, ataupun peternakan) apakah itu sudah mensejahterakan masyarakat lokal Marind dan ketahanan pangan mereka sudah terpenuhi? Bukankah penduduk asli Marind makannya sagu (Metroxylon sagu Rottb.), pisang (Musa paradisiaca L), kelapa (Cocos nucifera L.) dan umbi-umbian seperti kumbili (Dioschorea sp), petatas (Ipomoea batatas (L.) Lam. ), keladi (Colocasia esculenta (L.) Schott) dan kasbi (Manihot esculenta Crantz)? Mengapa sekarang harus pembukaan sawah lagi, bukannya pembukaan dusun sagu dan kebun umbi-umbian lagi. Terima kasih kepada masyarakat Kimaam yang masih memelihara tradisi Ndambu (suatu pesta adat dimana beragam hasil bumi seperti, keladi, petatas, kumbili, pisang dan sagu ditampilkan dan menjadi “persaingan” antar kampung maupun kelompok. Lalu, akan terlihat mana yang memiliki biji atau buah paling kecil dan terbesar. Nilai yang diambil dari tradisi ini adalah apabila umbi-umbian atau hasil panen lebih kecil berarti kalah dan yang kalah harus berjanji serta berusaha keras agar hasil panen berikutnya lebih baik). Terima kasih juga kepada masyarakat Marori Men Gey yang mempertahankan tradisi bahwa Kumbili merupakan jelmaan dari nenek moyang yang berubah wujud menjadi umbi untuk memberi makan anak cucu.
Sempat ada program pemerintah soal ketahanan pangan dengan diversifikasi pangan non beras. Pertanyaan saya mengapa budaya asli masyarakat meramu dan mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian mengapa harus diubah untuk mengkonsumsi nasi dengan pembukaan sawah dimana-mana? Mengapa bukan pembukaan jutaan hektar untuk ekstensifikasi dusun sagu dan kebun umbi-umbian varietas lokal? Mengapa harus padi yang dipaksakan untuk tumbuh di Merauke, bukan manusia di Merauke yang harus kembali mengkonsumsi sagu atau umbi-umbian? Jangan malu untuk konsumsi sagu dan umbi-umbian, karena makan sagu dan umbi-umbian merupakan budaya asli masyarakat Marind. Selain itu sagu dan umbi-umbian lebih sehat daripada nasi karena kandungan gulanya lebih rendah dan seratnya lebih tinggi. Bukankah para penderita penyakit gula atau Diabetes Mellitus sekarang beralih kembali mengkonsumsi karbohidrat non beras.
Menurut data statistik terbaru (BPS 2013), luas panen sawah di Pulau Jawa pada tahun 2012 adalah 6.165.079 ha (hektar), merupakan dari 46,89% dari total luas panen Indonesia. Luas panen seperti padi menghasilkan sebanyak 34.404.557 ton, atau tersusun dari 52,32% dari produksi beras nasional. Dengan kata lain, Pulau Jawa, yang hanya sekitar 6,9% dari luas daratan Indonesia, memberikan kontribusi untuk 52,32% dari produksi padi di Indonesia (Widiatmaka et al, 2014). Berdasarkan hal ini maka untuk ketahanan pangan khususnya beras pemerintah Indonesia mulai berekspansi ke daerah di luar Jawa, salah satunya Merauke. Merauke bukanlah pulau Jawa, andaikata 1 ha sawah di pulau Jawa bisa menghasilkan 8 ton padi/ha, di Merauke 1 ha hanya bisa menghasilkan 4 ton/ha. Pertanyaannya kenapa pulau Jawa bisa memberikan sumbangan 52,32 % produksi beras nasional walau luasnya hanya 6,9 % dari luas daratan Indonesia? Karena pulau Jawa merupakan pulau dengan tanah yang subur. Pulau Jawa tanahnya subur karena Pulau Jawa kaya akan gunung berapi, yang apabila meletus akan memperbaharui dan meningkatkan kembali kesuburan tanahnya. Dulu pemerintah Belanda telah menetapkan daerah Jawa sebagai daerah produksi pangan, daerah Sumatera produksi perkebunan, daerah Irian/Papua sebagai paru-paru dunia dengan mempertahankan hutannya ataupun dijadikan daerah perkebunan karet. Mengapa demikian? Jawabannya karena pemerintah Belanda tahu potensi dari masing-masing daerah. Kembali soal ketahanan pangan artinya ekspansi padi di luar Jawa pasti membutuhkan lahan yang lebih besar. Untuk 1 ha sawah di Jawa sama dengan 2 ha sawah di Merauke. Artinya ekstensifikasi (perluasan lahan pertanian dimana-mana), penggunaan bibit unggul, pupuk dan pestisida dimana-mana. Ada pula kabar yang saya dengar infrastruktur irigasi pun mulai disiapkan. Harapan saya semoga pembangunan demi ketahanan pangan ini tidak membawa malapetaka dan kehancuran bagi masyarakat asli Marind. Masyarakat asli Marind yang belum siap akan semakin terpinggirkan, hutan-hutan ditebang, rawa-rawa sagu mulai hilang, spesies flora dan fauna endemik akan musnah. Hutan hilang, sumber-sumber air pun terancam hilang. Kita tinggal menunggu kapan datangnya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Mesin pertanian seperti tracktor, pemberian pupuk kimia serta pestisida akan merusak tanah dan air. Ketika pupuk dan pestida terbawa air hujan menjadi aliran permukaan akan mencemari sungai dan rawa. Tetapi apakah masih ada rawa-rawa kalau sudah tidak ada hutan? Apakah masyarakat asli Marind atau mama-mama Mappi yang berjualan ikan, kepiting dan udang di pasar bisa mendapatkan tangkapannya kalau rawa dan sungai telah rusak dan tidak ada ikan yang hidup karena tempat hidupnya tercemar pupuk dan pestisida? Apakah kota Merauke akan berubah menjadi kota yang sungainya telah tercemar baik dari limbah pertanian maupun perkebunan, sehingga tidak ada lagi ikan yang hidup? Apakah kita yang telah terbiasa makan ikan segar dari sungai/kali mau makan ikan yang dipelihara di tambak yang pakannya berupa pelet? Sehingga mohon maaf rasanya di lidah saya seperti makan kapas. Sungai-sungai kita, yaitu Sungai Maro/Bian/Kumbe apakah kita mau bernasib sama seperti sungai-sungai di Jawa seperti sungai Ciliwung atau Citarum yang kita nonton di TV sering banjir pada musim hujan?
Ada banyak pelajaran yang bisa kita pelajari dari saudara-saudara di tanah Jawa. Mengapa sungainya sering banjir? Mengapa sungainya tidak ada ikan tetapi hanya ada sampah? Bukankah itu pelajaran buat kita karena di hulu sungai mereka sudah tidak ada lagi hutan/pohon yang berfungsi menahan air hujan. Kita lihat di hulu sungai contohnya di hulu Sungai Cisadane yang hulunya ada di Puncak Bogor, dimana kawasan Puncak Bogor sekarang padat dengann vila mewah dan hutannya mulai hilang. Sehingga banjir Jakarta selalu dibilang kiriman dari Bogor, masyarakat di Bogor wajib mempertahankan hutannya agar Jakarta tidak banjir. Ada insentif (pemberian upah) dari pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada pemerintah Bogor untuk tetap mempertahankan hutan di puncak Bogor/hulu sungai Cisadane. Kita di Merauke mempunyai kekayaan alam berupa lahan basah (Taman Nasional Wasur) dan hutan yang alami. Kenapa tidak dibuat PES (Payment of Enviromemental Services) atau pembayaran jasa lingkungan atas sumbangan oksigen dari hutan kita. Bukankah selama ini media asing sering mendengungkan bahwa perkebunan sawit sebagai penyumbang emisi karbon. Memang disisi lain, perkebunan sawit sangat menguntungkan karena sub-sektor perkebunan memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia dengan menjadi sumber devisa non-minyak dan mampu menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 6 juta orang (World Growth 2011). Syukur Puji Tuhan banyak menyerap tenaga kerja, bagi mereka lulusan universitas ternama maupun dari universitas yang baru merangkak. Suatu kebanggaan bagi lulusan pertanian seperti saya untuk bekerja di perusahaan sawit. Namun ada konsekuensi atau harga yang harus dibayar. Tenaga kerja dari masyarakat asli yang belum siap dalam menghadapi perubahan ini akan kalah dari tenaga ahli jebolan universitas. Harapan saya semoga kita di Merauke bisa tetap mempertahankan hutan dan meminta pembayaran jasa lingkungan kepada pihak asing tersebut atas hutan kita yang menyumbangkan oksigen bagi dunia? Atau kenapa mesti ada pembukaan hutan lagi untuk perkebunan sawit? Kampung-kampung yang masih mempertahankan hutannya seharusnya dapat meminta pembayaran jasa lingkungan atas hutannya yang menyediakan air bagi perkebunan sawit di kampung tetangga.
Tanggal 9 Mei 2015, bapak Presiden Jokowi datang dan bersama-sama masyarakat Merauke larut dalam kemeriahan panen raya padi di Wapeko. Entah karena euforia panen atau memang untuk mewujudkan cita-cita sebelumnya ketika bapak Menteri Pertanian Anton Apriantono meresmikan MIFEE pada tanggal 11 Agustus 2010 lalu. Tongkat estafet untuk menjadikan Merauke sebagai kawasan lumbung pangan nasional diteruskan dan ada wacana pembukaan 1,2 juta ha lahan sawah baru di Merauke.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, dalam Pasal (1) Ayat (2), pengertian Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Dalam Pasal (1) Ayat (4), pengertian Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Apakah lumbung pangan yang dicita-citakan ini sudah sesuai dengan pengertian ketahanan dan kedaulatan pangan dari undang-undang ini? Pertanyaannya ketahanan pangan untuk siapa? Untuk masyarakat asli Papua k? Toh kenyataannya budaya asli seakan dikebiri, orang Indonesia dari Sabang-Merauke didekte untuk makan nasi seperti saudara-saudara di Pulau Jawa.
Lidah orang Papua didikte untuk makan nasi, janji manis demi kemakmuran pemilik hak ulayat menjadi jualan yang laris agar hutannya dapat diubah menjadi sawah dan perkebunan sawit. Pelan tapi mengahanyutkan sehingga membuat terlena dan melupakan budaya serta kearifan lokal. Apakah inilah cita-cita dari pembangunan? Karena ketika hutan dan dusun sagu telah hilang dan digantikan dengan sawah serta perkebunan sawit, swasembada beras yang diraih, minyak sawit dan milyaran rupiah yang dihasilkan tidak akan pernah menggantikan apa yang hilang dari tanah ini.
Saya tidak menentang pembangunan, saya sangat mendukung pembangunan. Tetapi apakah pembangunan ini sudah dirasakan oleh pemilik hak ulayat? Atau hanya air mata, sakit hati dan rasa tidak adil karena melihat tanahnya dirusak. Mari terapkan pembangunan berkelanjutan di tanah ini, suatu pembangunan yang menguntungkan secara ekonomi, diterima secara sosial dan tidak merusak lingkungan. Pembangunan yang menguntungkan secara ekonomi bukan hanya dirasakan oleh pengusaha tapi yang terutama harus dirasakan oleh masyarakat asli pemilik hak ulayat. Apakah mereka menjadi tenaga ahli di perusahaan perkebunan sawit dengan gaji yang tinggi? Atau apakah sawah itu milik mereka sendiri? Apakah janji pembagian keuntungan 70 % untuk perusahaan dan 30 % untuk masyarakat diawasi secara adil sehingga masyarakat tidak dirugikan? Apakah dengan kehadiran perusahaan di kampung ada jaminan pangan mereka terpenuhi? Atau justru kelas-kelas menjadi kosong karena anak-anak ikut berburu untuk sekedar mengisi perut yang lapar? Berhari-hari meninggalkan bangku sekolah karena sagu dan hewan buruan semakin sulit dan jauh untuk dicari! Apakah sudah ada asrama yang disediakan untuk anak-anak yang bersekolah ke kota? Ataukah para pelajar tersebut tidak betah dan memilih pulang ke kampung karena tidak ada jaminan tempat tinggal, tidak ada jaminan makan mereka! Apakah yang tertulis di nota kesepahaman sama dengan janji manis yang disampaikan? Ataukah kesepakatan “hitam di atas putih” dilakukan ketika matahari beranjak ke peraduannya, semakin lengkap pula karena tidak ada lampu listrik yang menyala sehingga menjadi “kabur” dan akhirnya janji di bibir tak semanis janji di atas kertas?
Sebuah notes dari DR. James Hansen seorang peneliti terkemuka NASA “Kita telah melampaui titik ujung, tapi kita belum sampai pada titik tanpa harapan. Kita masih bisa berbalik, tapi kita harus mengambil arah yang cepat”. Sebelum semuanya terlambat masih ada harapan buat kita untuk menyelamatkan tanah ini, tetapi kita harus bergerak cepat. Sekedar saran kepada para pemimpin dan pengambil kebijakan, pembukaan sawah dan kebun sawit tidak perlu ditambah lagi, saatnya pemberdayaan masyarakat untuk kembali menanam pohon sagu dan umbi-umbian varietas lokal. Bagi perusahaan perkebunan sawit yang telah berdiri di Merauke melalui CSR (Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan) wajib memperhatikan nasib pemilik ulayat baik dari segi lingkungan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan IPAL (Instalasi Pembuangan Air Limbah). AMDAL tidak menjadi dokumen hasil “copy-paste” dan formalitas belaka namun harus benar-benar mempertimbangkan dampak bagi lingkungan. Anak-anak disekolahkan bila perlu harus ada jaminan sampai tingkat perguruan tinggi. Perlu ada pendampingan bagi masyarakat lokal dalam hal SDM (Sumber Daya Manusia) untuk bekerja di perkebunan. Budaya masyarakat asli harus dijaga terus jangan sampai hilang (terutama soal hutan dan tanah adat serta budaya sasi). Masyarakat tidak bisa dibiarkan begitu saja setelah mendapatkan uang kompensasi lahannya, masyarakat harus terus didampingi dan kinerja perusahaan harus terus dipantau.
Perlu upaya dan kerja keras kita semua untuk kembali kepada kearifan lokal. Tidak mudah memang untuk mengembalikan semua pada tempatnya. Lidah kita yang sudah terbiasa dengan nasi, ayo biasakan kembali mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian. Saya yakin kita bisa, langkah sederhana dapat dimulai dari rumah kita masing-masing. Cobalah belajar sehari saja makan tanpa nasi dan hanya makan sagu atau umbi-umbian. Pada acara kantor atau acara keluarga, di hotel atau restoran untuk menyambut tamu dari luar Papua yang datang ke Merauke, cobalah menghidangkan sumber karbohidrat lokal ini. Mengapa pemerintah bisa berhasil menasionalkan nasi ke lidah orang Papua? Tetapi tidak kita bisa menasionalkan sagu ke orang Indonesia yang lain.
Dari segi pertanian, petani lokal perlu dikembangkan dengan tanaman umbi-umbiannya. Mungkin dengan mengadopsi budaya Ndambu di Kimaam, di kota Merauke bisa melaksanakan pesta adat serupa Ndambu agar benar-benar mengapresiasi petani lokal dan sekaligus ajang promosi budaya. Selain itu di sekolah terutama di sekolah dasar, agar mengenalkan secara dini kepada generasi muda kearifan lokal budaya Marind yang mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian. Pengenalan akan kearifan lokal ini bisa menjadi bagian dari pelajaran mulok (muatan lokal) dengan cara mengajak siswa untuk study tour ke petani lokal, contohnya petani Suku Marori Men Gey di Wasur Kampung yang menanam kumbili dengan filosofi mereka bahwa kumbili adalah jelmaan nenek moyang yang berubah menjadi umbi untuk memberi makan anak cucu.
Dari segi ekonomi, berdasarkan survei sederhana (apabila belum ada perubahan harag) via telepon terkait harga beras, sagu dan umbi-umbian, harga beras di pedagang perkilonya berkisar antara Rp 8.000 sampai Rp 10.000, harga sagu 1 bungkus besar (kurang lebih 1 kg) Rp 20.000, harga petatas/kasbi dan keladi per tumpuk kecil (kurang lebih 1 kg) Rp 10.000. Sagu dan umbi-umbian ini pun hanya menjadi makanan pendamping nasi, hanya sebagai cemilan. Atau disajikan pada acara/hajatan dimana di meja prasmanan disajikan nasi, sagu sep, papeda, petatas rebus, keladi rebus dan kasbi rebus. Posisi sagu dan umbi-umbian ini hanya sebagai pendamping nasi. Apakah ini karena harganya yang mungkin lebih tinggi dan kurang mengenyangkan bagi "perut nasi" kita? Atau sudah tidak ada lagi yang pergi ke dusun sagu untuk pangkur sagu karena takut duri sagu? Atau bagaimana mau pangkur sagu kalau dusun sagunya sudah habis menjadi sawah dan perkebunan sawit? Bila jeli melihat, sagu dan umbi-umbian juga bisa menjadi peluang usaha komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi. Dari segi pariwisata bisa menjadi ajang promosi daerah dan mendatangkan income bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan menggelar Pesta Budaya Pangkur Sagu seperti “lagu Pangkur Sagu-nya Om Edo Kondologit” atau Pesta Adat Tanam Sagu di Merauke. Masa padi bisa panen raya di tanah Anim Ha, tetapi tidak ada Pesta Pangkur Sagu di tanah ini.
Semoga sagu tidak menjadi dongeng di buku pelajaran SD, dongeng tentang sagu sebagai makanan pokok orang Papua. Semoga ada sentuhan di hati yang membaca coretan saya ini. Terima kasih.***Anak kampung dari Merauke.