Poster Diskusi Green Papua. doc GP |
Materi ini disusun
sebagai materi Pemantik diskusi menjelang 5 Februari 2022
Tujuan :
1.Mengetahui asal-usul Agama ?
2. Bagaimana Proses Masuknya Gereja di Papua ?
3. Bagaimana relasi penyebaran agama samawi dan penjajahan di Papua ?
4. Alterntif Gerakan didalam gereja dan agama untuk pembebasan Nasional Papua
Barat.
Agama merupakan
suatu sistem kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu memiliki
kekuatan-energi yang mempengaruhi kejadian-kejadian tertentu diluar jangkauan
manusia, sekalipun tampilannya tidak begitu jelas, manusia meng-abstraksikan
agama dengan simbol-simbol, benda-benda, dan pengkultusan individu-indivud yang
dianggap jelmaan dari gambaran sesuatu yang mengatur tatanan alam semesta.
Sistem kepercayaan
atau agama berkembang secara acak dan terpisah-pisah sesuai perseberan manusia
dan pola interaksinya terhadap alam
semesta dan hubungan social yang didalam masyarakat.
Keyakinan-keyakinan
yang muncul didalam masyarakat menimbulkan refleksi-refleksi terbatas yang pada
akhirnya membentuk batas-batas, auran-aturan yang dianggap tepat untuk menata
alam, manusia dan juga hubungan-hubungan social dengan konsep Agama awal:
animism, totemisme, dinamisme, magis, kepercayaan terhadap Dewa Tertinggi.
Kepercayaan=kepercayaan
primitive ini sangat berkembang massif dan maju dalam fase perkembangan
masyarakat komunal primitive sampai kepada zaman Feodalisme.
Zaman Feodalisme,
di India dan Nepal berkembang Agama Hindu dan Budha, di Israel dan Mesir
berkembang Agama Yahudi, di Mekah Arab Saudi berkembang Agama Islam dan di
Eropa dan Roma berkemban Agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan (Lutheran,
Calvinis dan Baptis).
Fenomena
perkembangan Agama ini menurut marx adalah
“ Kenestapaan
keagamaan, pada saat yang sama merupakan ungkapan kesengsaraan nyata dan
sekaligus protes melawan penderitaan nyata tersebut. Agama adalah keluh
kesahnya makhluk yang tertindas, jantungnya dunia yang tidak punya hati, karena
itu ia merupakan roh dari suatu keadaan yang tak memiliki roh sama sekali. Ia
adalah candu rakyat”.1
Pandangan Marx
dalam esainya –Toward the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, ditulis
tahun 1844, ketika ia masih berstatus sebagai murid Ludwig Feuerbach, seorang
pemikir terkemuka dari Hegelian Kiri, Marx lebih mempertimbangkan watak ganda
dari agama dan melihat agama sebagai suatu keterasingan (alineasi) hakikat
manusia. Lebih lanjut Marx dalam German
Ideology (1846) menulis, “ sebagai suatu kenyataan sosial dan sejarah yang
menyertakan suatu analisis tentang agama sebagai salah satu dari berbagai
bentuk ideologi –yakni produk kerohanian suatu masyarakat, hasil dari
gagasan-gagasan, perlambangan-perlambangan dan alam kesadaran—yang semuanya
jelas dibentuk oleh produksi material yang berkaitan erat dengan hubungan-hubungan
social yang ada dalam masyarakat”.2
Analisa marx
tentang Agama dan Masyarakat ini diperkaya oleh sumbangsi Friedrich Engels
menampakkan minat yang lebih besar terhadap gejala keagamaan dan peran
sejarahnya. Terhadap kajian Marxis, sumbangsih Engels tentang agama adalah
analisis mengenai hubungan antara perlambang-perlambang keagamaan dan
perjuangan kelas. Yang melampaui perdebatan-perdebatan filosofis (antara
materialisme dengan idealisme), mencoba memahami dan menjelaskan
ungkapan-ungkapan sosial nyata dari agama-agama.
Agama Kristen
(sebagaimana yang dilihat oleh Feuerbach) tidak terus menerus tampil sebagai
suatu ‘hakikat’ yang sama di setiap masa (timeless), tetapi merupakan suatu
bentuk kebudayaan yang mengalami transformasi di berbagai periode sejarah yang
berbeda. Pertama kali adalah agamanya para budak belian, kemudian menjadi
ideologi negara Kekaisaran Romawi, lalu dijalin ke dalam jenjang masyarakat
ningrat (feodal) dan, terakhir, diserap ke dalam masyarakat borjuis. Tentu saja
sepanjang rentang sejarah ini terjadi perselisihan di antara berbagai kekuatan
lapisan sosial pemeluk keagamaan tersebut: antara teologi yang dipahami kaum
ningrat, Protestanisme borjuis, dan berbagai ajaran bid’ah (heresy) orang
kampung. Analisis Engels, sesekali memang terperosok juga ke arah penafsiran
utilitarian, yakni penafsiran instrumental atas gerakan-gerakan keagamaan:
“…tiap kelas yang
berbeda menggunakan agama yang tepat bagi mereka masing-masing … dan hal itu
membuat perbedaan yang kecil saja apakah orang-orang itu memang percaya kepada
agama yang mereka anut atau tidak”.3
Ketersamaran
keagamaan dari kepentingan-kepentingan kelas masyarakat tertentun dalam
berbagai bentuk agama. Tetapi berkat perjuangan kelasnya, ia menyatakan bahwa
pertentangan antara materialisme dan agama tidak selamanya mutlak. Seperti yang
dilihat di Inggris pada abad XVIII, materialisme pada orang yang namanya Hobbes
memang mati-matian mempertahankan kekuasaan mutlak kerajaan, sementara
aliran-aliran Protestan justru menggunakan agama sebagai panji-panji
revolusioner mereka dalam menentang keluarga kerajaan dinasti Stuart.
Selanjutnya, Engels menggambarkan suatu analisis menarik yang membedakan
agama-agama yang dianut berdasarkan susunan kelas masyarakat di masa tertentu
dan dalam rentang sejarah. Alhasil, selama masa Reformasi, pada satu sisi ada
Lembaga kependetaan kelas atas, yakni kumpulan ningrat puncak dari seluruh
jenjang Gereja, dan pada sisi lain terdapat lembaga kependetaan kelas bawah
yang menjadi pemasok ideologi gerakan Reformasi dan gerakan-gerakan petani
revolusioner.4
Sebagian besar
kajian-kajian kenyataan yang Engels tulis memang terpusat pada aspek kedua ini:
terpusat --lebih dari yang lainnya-- pada agama Kristen primitif, yakni
agamanya kaum jelata dan papa, orang-orang buangan, yang dikutuk oleh penguasa
dan yang teraniaya. Orang-orang Kristen awal memang berasal dari lapisan
masyarakat paling bawah: budak belian, orang kebanyakan yang dirampas
hak-haknya, dan para petani kecil yang bangkrut oleh utang.5
Analisisnya
tentang gejala keagamaan dari sudut pandang perjuangan kelas, Engels mengakui
potensi protes dari agama dan membuka jalan ke arah suatu pendekatan baru.
Marx dan Engels
mencoba menjelaskan bahwa munculnya agama juga sangat berkaian juga dengan
perkembangan klas-klas didalam masyarakat ada klas yang menindas tapi juga
terindas secara hierarki sosial dan agama juga cenderung dimanfaatkan oleh
kelas-kelas tertentu untuk kepentingan kelompoknya.
Misalnya Perang
Salib, Jatuhnya Konstantinopel 29 Mei 1453 menandai akhir Perang Salib yang
panjang, sejak 1096. Inilah salah satu peperangan terlama yang pernah terjadi
di bumi manusia demi memperebutkan hegemoni dan kekuasaan dengan balutan
panji-panji agama: Timur melawan Barat, Usmani kontra Romawi, Islam vs Kristen.6
Masyarakat Feodal
dan agama terus mengalami perubahan dengan perubahan dari Feodal ke Kapitalisme
ini ditandai dengan perkembangan produksi di dalam sistem feodal telah
memajukan perdagangan, dan sebagai akibatnya lahir perusahaan kecil kapitalis.
Perkembangan
system navigasi dan pelayaran memicu “penemuan” daerah baru. Dalam buku Principles of Political Geography
(1957) yang ditulis oleh Weigert dan W. Hans, disebutkan bahwa pada 7 Juni 1494
disepakati Perjanjian Tordesilas oleh Portugis dan Spanyol.
Perjanjian ini
merupakan kesepakatan pembagian dunia antara dua kerajaan Katolik di Eropa
paling berpengaruh saat itu, yakni Portugis dan Spanyol. Kerajaan Portugis
menguasai dunia timur, sedangkan Kerajaan Spanyol menguasai dunia barat, yang
ditentukan lewat perhitungan khusus.
Perjanjian
Tordesilas sebenarnya merupakan gagasan Paus Alexander VI dari Vatikan sebagai
solusi atas persaingan dua kerajaan Katolik itu. Ia mengeluarkan kebijakan atau
fatwa gold, glory, dan gospel alias 3G.
Dengan demikian,
tujuan Portugis dan Spanyol melakukan penjelajahan samudera, selain untuk
memperoleh kekayaan (gold) dan kejayaan (glory), juga mengusung misi
menyebarkan agama (gospel).
Gambar Ilustrasi Imperialisme. |
Dalam
perkembangannya, bangsa-bangsa inilah yang justru menguasai dunia dengan
kolonialisme dan imperialismenya seiring melemahnya Imperium Spanyol dan
Portugis.
Akivitas penemuan tempat-tempat baru sebagai penyedia bahan mentah tapi juga memperluas perdagangan dan agama membawa peralihan dari abad pertengahan pada dunia modern (Imperialisme).
“Penemuan” Pulau Papua dan Agama di Papua
Tahun 1551 – 1663
Pelaut Spanyol dan Portugis berkunjung ke Papua dan menamai pulau papua dengan
berbagai sebutan diantaranya, Ilha de Papoia (1511), Isla de Oro (1521), Ilhas
dos Papuas (1526), Nova Guinea (1545).
Seiring melemahnya
kekuasaan portugis dan spanyol.Tahun 1606-1944 Pelaut belanda berdatangan
menelusuri pulau Papua, 24 Agustus 1828 Belanda mendirikan banteng Fort du Bus
di Teluk Triton Kaimana, banteng ini tidak bertahan lama karena diserang oleh
suku-suku asli dan prajuritnya terserang sakit malaria.
Setelah benteng du
Bus ditinggalkan, Belanda tidak berusaha untuk membangun banteng baru sebagai
penggantinya. Meskipun tidak ada pos pemerintah Belanda di Nieuw Guinea, para
Zending tetap berusaha mengabarkan Injil di Papua. Pekabaran Injil dimulai pada
5 Februari 1855 dengan kehadiran Carl Wilhelm Ottow dan Johan Gottlobb Geissler
di Mansinam, Manokwari. 23 Mei 1894 Misi Katolik mulai mewartakan Injil di
Tanah Papua, Misionaris pertama Pater Le Cocq d’Armandville SJ membuka Pos Penginjilan
pertama di Sekeru (dekat fak-fak). Para Zending meminta kepada pemerintahan
belanda meneggakkan pemerintahannya di Niew Guinea, secara resmi 5 Februari
1898 Belanda mengadakan system pemerintahan dan aturan kolonialnya di Wilayah
Papua Barat.
Perkembangan Agama di West Papua
Perluasan wilayah
kekuasaan oleh bangsa-bangsa eropa dibalut dengan politik “penemuan”,
“peradaban”, “agama” semua itu dapat kita pahami didalam semangat 3G. Ini
hanyalah argumentasi untuk menjustifikasi atau membenarkan tindak-tanduk mereka
atas wilayah dan penduduk yang baru dijumpainya, politik semacam ini dapat
dilihat dalam banyak contoh penjajahan didunia, misalnya di Afrika, Asia,
Amerika latin, dan Pasific.
Di West Papua
Agama yang masuk berkembang dengan cepat dikarenakan pola pendekatan yang
digunakan melalui pendirian sekolah-sekolah, asarma-asrama dan bantuan social
terbatas lainnya, program-program ini akan semakin nampak kepentingan
ekonomi-politiknya ketika pemerintah belanda digulirkan di West Papua, melakukan
ekspedisi-ekspedisi pemetaan sumber daya alam dan pendirian perusahaan Minyak
NNGPM milik Inggris, Belanda, Amerika Tahun 1935 di Sorong.
Agama atau
pandangan hidup yang ada didalam masyarakat Papua mengalami dinamika;
mempertahankan pandangan local yang telah ada atau kemudian menerima doktrin
Agama Kristen yang baru menurut orang Papua.
Dalam Buku Manusia
Irian Jan Boelars (1992) mencoba menjelaskan kehidupan beberapa suku di Papua
seperti, Suku Marin-Anim, suku Yah’ray, Suku Asmat, Suku Mee, Suku Dani(Lany),
Suku Ayfat, Suku Mandobo.Kepercayaan-kepercayaan local yang ada didalam
masyarakat diarahkan dalam doktrin Alkitab, bahwa yang mengatur alam semesta,
mati atau hidup, miskin atau kaya, menderita atau sejahtera telah digariskan
dan diator oleh seseorang yang memiliki kuasa diluar manusia. Walaupun demikian dibeberapa
wilayah di Papua, suku-suku tetap mempertahankan kepercayaan lokalnya, misalnya
Bunani di Goodide Dogiyai.
Papua berhasil
dikristenisasi dibawah Penjajahan belanda (1898-1962) dan Papua dibawah Neo-Kolonial
Indonesia tetap menjadi wilayah dengan mayoritas pemeluk agama, Kristen
Protesan, Kristen Katolik, dan terakhir Islam.
Lembaga Agama di Papua memainkan peran penting didalam membangun kesadaran masyarakat yang menjadi objek doktrin agamanya tetapi juga sebagai mitra pemerintah kolonial di West Papua. Selain menjadi sarana untuk masyarakat dapat memenuhi kebutuhan spritualistas, gereja memiliki andil besar dalam mengontrol nalar kritis masyarakat. Lembaga Agama yang ada saat ini dan memilik basis besar sesuai perkembangan masyarakat Papua adalah : GKI di Tanah Papua berpusat di Belanda, Gereja KINGMI Papua berpusat di Amerika (Canada), GIDI Papua berpusat di Jerman, Baptis Papua berpusat di Australia, Kristen Katolik Papua berpusat di Vatikan Roma dan Islam di berpusat di Mekah Arab Saudi.
Agama dan
Perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat
Sangatlah jelas
penyebaran agama samawi berjalan simultam dengan kepentingan ekonomi politik
kolonial dan imperialisme, akumulasi praktek penindasan : perampasan tanah,
sumber daya alam dikeruk, nilai-nilai adat dilanggar dan berbagai bentuk
penindasan. Memanifestasikan perlawanan rakyat dalam berbagai bentuk terhadap
Belanda, Indonesia dan secara umum terhadap Imperialisme sampai detik ini.
Kebijakan-kebijakan
kolonial-imperial telah mamacu Perubahan-perubahan struktur sosial, telah
memunculkan tenaga-tenaga produktif. Tenaga adminsitrasi, tenaga birokrasi,
tenaga penginjilan, kepala lembaga agama di ganti perannya oleh orang-orang
asli Papua yang secara struktur dan pemikiran tergantung pada imperialisme.
Imperialisme
menjadikan agama sebagai alat (infrastruktur), mendominasi, memanipulasi
kesadaran rakyat tertindas di West Papua. Didalam sekolah-sekolah Tinggi
Teologia, topik-topik Teologi Pembebasan di batasi karena dianggap akan
meradikalisasi rakyat dan memunculkan perlawanan terhadap penguasa.
Perlawan-perlawan
rakyat Papua muncul secara sporadis di berbagi daerah tanah Papua, ada yang
diorganisir oleh kelompok-kelompok intelektual Papua tapi juga
perlawanan-perlawan spontan di basis. Ini adalah gambaran bahwa rakyat Papua
tidak sedang memimpikan surga yang absrak sesuai yang digambarkan para
misionaris tetapi sedang bergerak mewujudkan suasana keadialan atau surga perspektif orang Papua.
Kuatnya hegemoni
agama (filsafat idealisme) membuat gerakan-gerakan politik yang dibangun oleh
orang Papua terus jatuh kepada kepercayaan yang mistik, pengkultusan bahwa akan
terjadi kemerdekaan politik setelah ada seorang “nabi” bagi orang Papua atau
juga argumentasi usang “belum waktu Tuhan’ bahkan yang lebih parah adalah
menjadikan agama atau “penglihatan” tertentu sebagai ideologi politik
perjuangan. Pandangan-pandangan semacam ini membuat rakyat Papua tidak percaya
diri pada kekuatannya sendiri untuk revolusi.
Paham-paham lama
ini harus diahancurkan dengan kebudayaan teologi yang lebih revolusioner dan
tentunya membutuhkan strategi taktik dari gerakan politik yang revolusioner
untuk mengerjakan tugas propaganda dan pengorgnisiran di Lembaga agama di
Papua. Memajukan perjuangan gereja untuk membebaskan rakyat dari cara-cara
moderat menuju cara-cara yang lebih revolusioner.
Kelompok religious
moderat di Papua secara kuantias cukup banyak, kelompok ini juga secara
langsung terdampak politik kolonisasi, kontradiksi khusus. Sekalipun kelompok
ini dengan pemahaman idealisme yang begiu kental dan masih menolak pandangan
materialisme dan perlawanan kepada imperialsme sangat penting untuk diorganisir.
Menurut Engels, “
Kristen primitif mengalamatkan pembebasan pada kehidupan alam akhirat kelak, sementara
sosialisme menempatkannya pada kehidupan di dunia saat ini”.7
Semangat akan
pembebasan manusia inilah yang musti diambil oleh gerakan politik revolusioner
sebagai taktik dalam memobilisasi politik rakyat, strategi taktik ini juga
disampaikan oleh Lenin sendiri --yang sangat sering menyebut agama sebagai
suatu "kabut mistik"-- menegaskan dalam tulisannya, Socialism and
Religion (1905), bahwa ateisme tidak harus menjadi bagian dari program Partai
Komunis, karena "... persatuan dalam perjuangan revolusioner yang nyata
dari kelas tertindas demi menciptakan suatu surga di muka bumi adalah jauh
lebih penting ketimbang kesatuan pendapat kaum proletar tentang surga yang akan
datang nanti di akhirat". 8
Pandangan lenin
ini dipengaruhi oleh situasi ekonomi politik dan struktur masyarakat saat itu
yang gerakan-gerakan buruh dan gerakan-gerakan Kristen dari kelas bahwa sangat
massif, sehingga ini dapat dipandang taktik penyatuan dan pengorganisiran.
Pemikiran dan
Tindakan Gereja dan agama yang idealis dan tergolong moderat di Papua adalah
budaya lama, budaya anti Pembebasan manusia, Sejarah umat manusia membuktikan
bahwa kebudayaan baru sekalipun itu didalam lembaga agama yang dogmatis sanggup
dilakukan dan dataran Amerika latin membuktikan itu dengan praksis Teologi
pembebasan oleh Gustavo Gutierrez (Peru), Ruben Alves, Carlos Mesters, Hugo
Assmann, Leonardo dan Clodovis Boff (Brasilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria
(El Salvador),Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Cili), Pablo Richard (Cili-Kosta
Rika), Jose Miguel Bonino, Juan Carlos Scannone (Argentina), Enrique Dussel
(Argentina-Meksiko), Juan Luis Segundo (Uruguay).
Kebudayaan baru
yang revolusioner hanya akan terbangun berdasarkan kerja-kerja revolusioner,
alat revolusioner, dengan analisas situasi yang ilmiah (materialisme), strategi
taktik yang tepat dan dijalankan oleh kaum revolusioner di West Papua.
Daftar Pustaka
1.
Karl
Marx (1884) ‘Toward the Critique of Hegel’s Philosophy of Right’ dalam
Louis S.Feuer (ed.) (1969)
2.
Marx
and Engels: Basic Writings on Politics and Philosophy, London: Collins/Fontana.
3.
Karl
Marx (1846) German Ideology, London: Lawrence & Wishart, 1974
4.
Friedrich
Engels, "Ludwig Feuerbach and the End of Classical German
Philosophy" dalam Feuer, op.cit., h.281.
5.
Friedrich
Engels (1850) ''The Peasant War in Germany" dalam Feuer.
6.
Friedrich
Engels (1969) Anti-Duhring, London: Lawrence &Wishart.
7.
Friedrich
Engels (1895) "Contribution to a History of Primitive
Christianity" dalam Marx dan Engels, On Religion, London: Lawrence
& Wishart.
8.
Vladimir
Ilyich Lenin (1905) "Socialism and Religion", Selected Works,
Jilid 10, Moscow, 1972.
9.
Sejarah
Kejatuhan Pusat Perang Salib Konstantinopel Diakses pada 22 Januari 2022
dari ( https://tirto.id/sejarah-kejatuhan-pusat-perang-salib-konstantinopel-cpCe)