Dok. Media convertion
Oleh komunitas Green Papua
Petani merupakan suatu kelas sosial didalam masyarakat terbentuk akibat proses perkembangan masyarakat; hasil reproduksi dari proses manusia memenuhi kebutuhan, dan interaksi dengan kondisi alam.
Petani di Indonesia mengalami banyak masalah dibawah kependudukan kerajan belanda yang secara real politik menguasasi Indonesia 1800an - 1945 . Awal 1808 di bawah Kerajaan Belanda menjalankan, pajak tanah dan Cultur stelsel (tanam paksa). Sistem tanam memaksa rakyat menanam sebagian dari sawah dan atau ladangnya dengan tanaman komoditas dan hasilnya diberikan kepada pemerintah bahkan lahan milik petani-rakyat terus diprivatisasi melalui undang-undang pertanahan klonial Belanda sehingga tanah milik rakyat berada didalam ancaman, perampasan lahan.
Lahan yang menjadi sumber penghidupan-rakyat petani dijadikan milik kapitalis dan rakyat dibuat harus bekerja dibawah perintah majikan-majikan baru para kapitalis yang telah mencuri lahan secara paksa dengan hukum klonial-militeristik, politik penundukan.
Perjuangan Indonesia mendapat banyak simpati rakyat Indonesia yang dominan-tani yang berhubungan dengan produksi tertindas, simpati yang munculpun tidak terlepas dari pendidikan politik-pongorganisir kaum Indonesia, juga manifestasi dari realitas, antara peninda dan yang tertindas.
Pasca Proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, 15 Tahun kemudian dan atau 1 Tahun sebelum Deklarasi Manifesto Politik Papua Barat. Pada 24 September 1960, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan. Tiga tahun sesudahnya, Presiden Sukarno melalui Kepres No. 169 Tahun 1963, menetapkan bahwa 24 September sebagai Hari Tani Nasional. Simbol bahwa kelahiran UUPA 1960 dimaksudkan untuk merombak nasib kaum tani dengan menyediakan tanah bagi kaum tani. UUPA 1960 dilharikan akibat perjuangan petani atas hak hidupnya atas akses terhadap Tanah.
Persoalan utama Agraria (Tanah , Air, Udara dan Kekayaan alam lainya) di Indonesia adalah Pola penguasaan tanah yang konsentrasi kepemilikannya ada ditangan segelintir orang dan korporasi besar, sementara sedikit dari banyak rakyat Indonesia yang memiliki akses penguasaan tanah bahkan jutaan rakyat tidak bertanah dan terus mengalami pemiskinan.
Praktek perampasan lahan berjalan mulus dikarenakan, kebijakan negara yang pro terhadap korporasi-investasi serta keterlibatan aparat militer, TNI, POLRI dan pam Swakarsa untuk menekan, meneror, menangkap jika rakyat menolak-melawan perampasan Lahan.
Negara terus mendorong regulasi-regulasi yang menguntungkan posisi korporasi dan menekan peluang penguasaan tanah oleh rakyat, 2011 Kebijakan MP3EI yang membagi Indonesia menjadi 7 koridor Pembangunan Ekonomi hingga tahun 2025. Negara melaksanakan deregulasi dan mengesahkan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang bertumpu kepada beberapa hal mendasar: prioritas sumber daya alam untuk investor (baca: perampasan tanah), tenaga kerja murah (liberalisasi tenaga kerja), dan liberalisasi modal dan keuangan, penciptaan pasar dalam negeri untuk barang dan jasa melalui impor (liberalisasi perdagangan).
Paket kebijakan politik Neoliberal diatas sangat tidak bermanfaat untuk kemakmuran rakyat. Petani akan kehilangan tanah untuk digarab, buruh akan terus dieksploitasi dan diupah rendah, masyarakat adat akan kehilangan tanah-tanah adatnya, Nelayan akan terus terbatasi ruang pencaharian nafka akibat aktivitas kapal-kapal tender minyak, emas yang lalu lalang,
Di West Papua lahan milik petani, nelayan dan masyarakat adat Papua secara umum terus dirampas dengan hadirnya berbagai perusahaan milik korporat-kapitalis. Mengubah siklus hidup (corak produksi, pola konsumsi, dst), rakyat yang dulu hidup bergantung berccocok tanam dan bergantung ke alam kehilangan sumber penghidupan sehingga harus menjualkan tenaga kerja mereka kepada tuan tanah baru yaitu perusahaan yang telah mencuri tanah mereka. Alih profesi dari meramu-bertani menjadi buruh kasar dengan resiko kerja yang tinggi di perkebunan-perkebunan kelapa sawit, akibat gaji yang kecil dan kebutuhan hidup yang tinggi para buruh papua harus Bertani di tanah-tanah dengan luasan kecil yang masih dikuasi oleh masyarakat, buruh-bertani.
Korporat-korporat menggunakan militer sebagai pagar untuk menjga kelangsungan aktivitas ekploitasi-akumulasi sumber daya alam. Setiap rakyat Papua yang melakukan perlawanan selalu dilabelisasi dengan konotasi negative, anti pembangunan, pendukung separatis, tidak sampai disitu banyak petani-masyarakat yang mempertahankan tanah mengalami pelanggaran HAM, diteror, disiksa bahkan terbunuh oleh militer Indonesia.
Negara terus melakukan Operasi militer di Intan Jaya, Papua. Teror ini sengaja diciptakan oleh Korporat dan Negara sebagai upaya pengusiran penduduk asli agar rencana masuknya perusahaan ekstraktif ‘Blok Wabu’ yang melibatkan Luhut Panjaitan Cs dapat berinvestasi.
Sekalipun sudah banyak desakan rakyat, LSM, Tokoh Agama untuk menghentikan Operasi militer di Intan Jaya. Negara justru terus melanjutkan operasi militer dan memaksakan rencana berinvestasi, semakin nampak jelas bahwa niat negara di Papua hanyalah untuk kepentingan ekonomi korporat semata dan tidak memperhatikan nasib rakyat, petani, dan masyarakat adat. Akibat Operasi militer ribuan rakyat yang mayoritas petani mengungsi ke kota-kota terdekat; Nabire, Paniai, Timika, dll.
Operasi militer tidak berhenti disitu Negara juga terus gulirkan Operasi militer di Maybrat, Papua Barat untuk kepentingan perluasan pos-pos militer untuk menjaga pengamanan pembanguan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di sekitar sorong raya dan beroperasinya beberapa industry ekstratif dan perusahaan kelapa sawit disana.
Budaya bertani didalam masyarakat papua dihancurkan melalui proses sistemik oleh Negara dibawah kontrol Imperialisme. Tanah dirampas budaya bertani yang produktif diganti dengan budaya konsumtif dan uang. Petani papua terus tersingkir dipasar akibat monopoli yang diciptakan oleh kapitalis-kapitalis kecil hingga kapitalis besar.
Pola perampasan lahan yang pernah dilakukan oleh klonial belanda terhadap Indonesia melalui penundukan raja-raja di Jawa dipraktekkan di Papua dengan cara menundukan suku-suku di Papua, melalui politik integrasi, mengadakan birokrasi klonial dan menghilangkan struktur pemerintahan adat yang ramah penguasaan tanah oleh rakyat.
Dalam menjalankan program-program kolonial di Papua, terjadi berbagai penindasan terhadap rakyat Papua. Perampasan tanah untuk investasi, penemuan sumberdaya alam dan relokasi masyarakat dari tempat tinggalnya, Stigma terhadap masyarakat hingga Operasi Militer.
Operasi militer di Papua seperti Maybrat, Intan Jaya, Nduga, Puncak Papua bahkan diseluruh tanah Papua (Sorong-Merauke) di masa kepemimpinan Jokowi-Maruf saat ini menambah daftar catatan kekerasan (Pelanggaran HAM) negara kolonial Indonesia sejak pendudukan tahun 1961 di tanah Papua. Pendudukan dengan mengunakan kekuatan bersenjata/TNI Polri, kekerasan dan manipulasi sejarah adalah cara negara kolonial Indonesia untuk menghancurkan penduduk asli Papua demi penguasaan atas Sumber Daya Alam.
Data Media dan pernyataan resmi negara (secara terbuka) jumlah TNI Polri yang di kirim ke Papua dalam 3 tahun terakhir yaitu 21.609, yakni tahun 2019, sebanyak 10.000 tahun 2020, dari tahun 2021 kurang lebih 5.000 an. Jumlah TNI Polri yang di kirim selama 3 tahun terakhir itu tidak termasuk data jumlah kopassus, belum terhitung jumlah TNI Polri organik dan non-organik yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Belum terhitung jumlah milisi sipil yang dipersenjatai negara di Papua. Demikian rasio penduduk dan personil TNI Polri di Papua merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia. Militerisasi Papua bukan meningkatkan keamanan tapi meningkatkan kejahatan kemanusiaan.
Tahun 1965 Orang Amungme Kamoro di hancurkan demi Emas Freeport, tahun 1966 penduduk Mapenduma dihancurkan demi Taman Nasional Lorents, tahun 2018 hingga saat ini Nduga, Intan Jaya dan Puncak Papua dihancurkan demi emas senilai 8,1 juta ton di Blok Wabu, kini di Maybrat demi penguasaan hutan oleh perusahaan kayu PT. Bangun Kayu Irian dan PT Wananggala Utama.
Akibat dari Operasi Militer di Nduga, Puncak Papua, Intan Jaya dan Maybrat ini membuat membuat masyarakat mengungsi ke kampung tetangga, ada juga yang bertahan di hutan dengan bahan makanan seadanya hingga saat ini. Anak-anak sekolah tidak bersekolah karena aktifitas belajar-mengajar mati total, perkebunan milik warga tidak terurus, rumah dan harta benda semuanya ditinggalkan. Ribuan pengungsi kehilangan hak asasi mereka yaitu hak atas rasa aman, hak untuk tidak disiksa, hak atas pendidikan, kesehatan, hak beribadah dan hak-hak lainnya. Bahkan tidak sedikit rakyat Papua yang lahir dan tumbuh di bawah teror psikologi juga fisik. Ditambah lagi dengan ingatan kekerasan militer masa lalu yang selalu menghantui bayang-bayang kehidupan orang Papua membuat hidup orang Papua kian buruk dan hancur di atas tanah airnya.
TNI Polri yang dikirim ke Papua maupun yang sudah ada di Papua ini tujuannya untuk membungkam gerakan dan perlawanan rakyat Papua agar investasi dan eksploitas Sumber Daya Alam Papua. Selain itu untuk menyukseskan program kolonial Indonesia di Papua salah satunya Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 yang menjadi alat legitimasi kampanye di rakyat Indonesia dan Dunia bahwa Papua baik-baik saja bersama Indonesia dan 21 Tahun Otonomi khusus Papua berhasil membangun dan mensejahterakan orang Papua.
Kekuasan klonial Indonesia didukung oleh korporat-kapitalis yang menggurita sehingga dampaknya meluas baik di Papua, Indonesia dan Dunia. Para korporat dan mafia tanah tidak mengenal kemanusiaan mereka hanya terus-menerus mengejar berapa banyak petak tanah yang harus dikuasai untuk keuntungan ekonomi semata.
Sehingga kita sudah tidak peduli terhadap setan yang terus merampas tanah rakyat dijadikan musuh bersama dengan semangat solidaritas rakyat tertindas di West Papua, Indonesia dan Dunia.
Tanah Milik Rakyat bukan Negara atau koorporat-kapitalis. Rakyat Bersatu, Hancurkan Kapitalisme, Hapuskan Klonialisme dan Lawan Militerisme.
Catatan ini dirangkum dari hasil diskusi dengan tujuan, pendidikan, penyadaran, dan pengorganisiran.
Jika ingin bergabung dalam diskusi-diskusi dapat hubungi kami FB: Greenpapuacomunnity