-Dalam rangka hari Tani Nasional, 24 September 2021
Berdasarkan kisah nyata
Foto lapak buku kota Jayapura |
“ Mama sa lapar….., mama sa lapar …. Mama sa lapar…..” ucap Nekiles dengan tubuh lesu kepada Ibundanya. “Ko makan singkong bakar ini dulu, besok baru mama beli beras…. Abis makan ko tidur eeee, besok belajar toh?” balas Mama Nekiles. “ Iyo Mama'' sahut Nekiles. Setelah menyantap ubi bakar dan sayur daun petatas yang disajikan mama Penina, Nekiles pun tidur dalam pangkuan Mama di pinggir tungku api. Waktu terus bergulir, malam semakin larut, angin berhembus kencang masuk ke cela-cela dinding kayu rumah Nekiles. Mama mulai terasa nyeri di lutut -lutut dan jari-jari kakinya. Mama yang sedang membujuk anaknya dalam pangkuan, bergegas meletakkan Nekiles pada lantai kayu yang beralaskan kain sarung. Mama kemudian kembali mengumpulkan kayu bakar untuk menyalakan api serta duduk menatap tungku sambil mengulurkan telapak kakinya dekat dengan bara api dalam tungku. Tiada ucapan selamat tidur kepada Nekiles dan kedua kakaknya malam itu. Sembari menunggu redanya nyeri lutut dan jari-jari kakinya, mama menatap tungku sambil bergumam “Tuhan tolong… saya besok harus membeli beras untuk anak-anak saya”. Mama kemudian merebahkan badannya dan terlelap dalam kesunyian malam.
19 April 2021
Hiks…. hiks…. hiks…, tangisan keras merambat perlahan terdengar oleh Mama Penina. Mama bergegas menongkah tangan kanannya pada lantai papan kemudian duduk dan mencari sumber suara. Sumber suara berasal dari Luis, kakak kedua Nekiles. “Mama…. Mama… mama… perut sakit!” respon Luis melihat Mama yang sedang memperhatikannya, sembari menyilangkan kedua tangannya merangkul perut. “Luis kenapa perut sakit? apakah ko mau kencing k?” balasan mama dengan tatapan lembut. “Bukan mama! perut pedis, terus lapar dan kepala sakit” memperjelas kondisinya. “ Adoh!!!!” balas Mama sambil mencoba menemukan singkong mentah yang diletakan di dekat tungku. Waktu itu tepat pukul 04.30 WP suara kendaraan mulai terdengar jelas, rumah gubuk lapisan kayu, beratap dedaunan sagu, berbentuk panggung, dan pinggiran rumah dihiasi tanaman cabe, tanaman bunga kembang sepatu dan ubi jalar. Sekilas bagi pengendara dan pejalan kaki yang melewati rumah Nekiles akan melihat embun dan asap tidak dapat dibedakan karena menyatu bersama di pagi itu.
.
Mama Penina langsung menemukan singkong dan membakarnya di tungku sambil duduk membelakangi Luis, kemudian tangan kiri mama diletakan di lantai sebagai tumpuannya untuk bisa berdiri. Mama meraih panci, kemudian membuka pintu berlapiskan papan rapuh, kemudian memegang erat pegangan tangga lalu menuruni anak tangga secara perlahan.
Nyeri lutut dan kaki nyaris membuat mama tidak berdaya, namun Mama terbenturkan dalam pilihan jika tidak memasak maka anak-anaknya akan kelaparan.
Mama bergegas memasukan air 3 gayung ke dalam panci kemudian berjalan kembali menaiki tangga rumah panggungnya dengan penuh keyakinan. Mama langsung meletakkan panci diatas dua lapisan besi yang dijejer sebagai penyangga tungku. Mama meraih kayu bakar dan berusaha meniupkan angin dari mulut agar bara membakar kayu kering menjadi api yang lebih besar. Api pun merambat membakar kayu kering tersebut, mama termenung, dalam pikirannya berpikir bahwa sakit kakinya (baca: rematik) tidak seberapa dengan melihat kondisi kelaparan anaknya. Luis yang merasa kelaparan dan dingin mendekati tungku, memasukan kedua tangannya dalam kaos dan mengarahkan kedua kakinya dekat dengan tunggu sembari menunggu singkong dibakar matang dan air mendidih.
Nekiles berusia 5 tahun, kakak pertamanya, Tony lebih tua tiga tahun darinya sedangkan kakak kedua, Luis lebih tua 1 tahun darinya. Nekiles lahir di Kota Jayapura, berbeda dengan kedua kakaknya yang lahir di Tolikara. Nekiles dan kakak-kakaknya hidup bersama Mama Penina. Sejak Nekiles berusia 2 tahun lebih 4 bulan, Bapa Nekiles pergi tanpa pamit maupun berkabar hingga kini. Mama Nekiles adalah seorang petani dan penjual hasil tani di Pasar Kaget di seputaran Kota Jayapura.
Setiap hari senin hingga sabtu, mama Nekiles akan beraktivitas di kebun, pasar dan rumah. Perempuan paruh baya ini melahirkan Tony di usianya 18 tahun. Kemudian merantau ke Kota Jayapura di usia 22 tahun, saat Nekiles dalam kandungan berusia 6 bulan. Penina panggilan akrabnya di perkumpulan perempuan di gereja, dan masyarakat sekitar. Penina sejak kecil beribadah dan terlibat sebagai anggota jemaat GIDI sama seperti persekutuan gereja Lukas Enembe (Gubernur Papua) dan beberapa pejabat-pejabat Provinsi Papua. Penina juga berasal dari suku yang sama dengan Lukas Enembe, hidup di wilayah administrasi Kota Jayapura yang sama namun berbeda realitas hidup. Penina telah bekerja sebagai petani dan penjual sayur selama 5 tahun. Bukit berkarang, tanjakan terjal, polusi udara (debu dan gas-gas hasil pembakaran mesin kendaraan), kekerasan militer, kebisingan kendaraan membuat tubuhnya yang muda semakin melemah.
Air yang dipanaskan perlahan mendidih. Mama telah menyiapkan 2 helai teh dan gula 6 sendok makan dalam teko air berukuran kecil. Mama Penina perlahan mengeluarkan singkong dari antara bara api lalu menyiramkan air panas perlahan ke dalam teko kemudian diaduk dengan dengan sendok makan, setelah larut langsung ditambahkan air hingga teko penuh.
Harumnya aroma teh merambat ke seluruh rumah, membangunkan Nekiles dan Tony.
Mereka perlahan duduk dan mengoyak-oyakan mata mereka. Mereka melihat Luis yang sedang meniup-niup teh dalam gelas plastik berwarna merah muda. Tony berdiri dan meraih teh yang telah dituangkan Mama dalam gelas. Tangan kanan Tony memegang gelas berwarna hijau dan tangan kirinya gelas berwarna ungu, gelas berwarna hijau diletakan untuk Nekiles dan gelas ungu untuknya.
"Selamat pagi Ulagay*, coba bangun pagi itu kasih selamat dulu k!" cetus Mama memulai percakapan. "Aghhh orang lapar nih" balas Tony sebelum meniup teh dalam gelas. "Mama trada nasi k?" tanya Nekiles. Sontak pertanyaan itu mengganggu pikiran Mama, tanpa berpikir panjang mama bergegas meraih perkakas/alat kerjanya menuju Kebun. Sekitar pukul 5.30 WP mama meninggalkan rumah dan menuju tempatnya menanam di kaki gunung cyclop.
Biasanya, jika ada beras dirumah mama bisa meninggalkan rumah jam 08.00 WP dan kembali pada pukul 13.00 WP dan menuju pasar sekitar jam 15.30 WP dan pulang kerumah jam 20.00 WP. 5 jam aktivitasnya digunakan untuk perjalanan dan memetik sayuran serta merawat atau menanam lagi, dan 6 setengah jam digunakannya untuk berjualan di Pasar. Jika tidak ada beras Mama akan bergegas lebih pagi dan tidak sempat merawat tanaman atau menanam, namun langsung menuju perumahan atau warung makan untuk menjual hasil kebunnya. Sehingga Mama bisa menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya.
.
Pukul 10.30 WP mama berjalan di pinggiran jalan raya menuju perumahan warga kota Jayapura. Seorang guru sukarelawan yang mengajarkan ketiga anaknya berhenti di depannya menggunakan motor. "Mama ko mau kemana?" tanya guru tersebut. Noken berat yang diletakan di kepala membuatnya kesulitan melihat sumber suara. Perlahan mengangkat wajahnya, "eyeh…. Bu guru selamat pagi…, sa mau ke rumah-rumah dibawah, jual sayur, singkong, pepaya dan rica. … di rumah tidak ada beras, sedangkan sore nanti Tony, Luis dan Nekiles harus ke sekolah jam 15.00 WP jadi sa cari harga beras dulu supaya sebentar dong bisa datang ke sekolah" sahut Mama Penina, sambil tersenyum dan mencoba berdiri tegap. "Mama naik sudah sa antar pake motor cari tempat untuk dijual" respon guru tersebut sambil tersenyum.
Sepanjang perjalanan dengan motor mama bercerita sambil tertawa lepas. Mama bercerita tentang bagaimana perilaku anak-anaknya yang aktif belajar dan selalu bercerita tentang situasi sekolah.
"Bu guru sa juga mau belajar, tapi bisa k tidak yah?" tanya Mama dari belakang. "Bisa toh Mama" jawab pengendara motor. Percakapan itu pun berlanjut hingga tiba di perumahan militer. Mama langsung turun dan menawarkan isian dalam noken kepada Ibu-ibu di perumahan itu. Mereka menawar pepaya yang sering dijual Rp 30.000 dengan harga Rp 10.000, membeli sayur singkong yang seharga Rp 8.000/ ikat dengan Rp 5.000/ikat, Cabe rawit dengan harga Rp 10.000 per tumpuk dengan Rp 5.000 per tumpuk, singkong seharga Rp 30.000/ tumpuk ditawar Rp 15.000/tumpuk. Penawaran terus terjadi hingga salah seorang Ibu di perumahan itu menyatakan "Ya sudah sa tra jadi ambil". Mama Penina bergejolak batin membayangkan kondisi anaknya di rumah yang belum makan nasi, langsung mengiyakannya. Hasil penjualannya mencapai Rp 63.000 mama sengaja menyimpan pepaya 1 buah dan singkong 1 tumpuk, untuk guru-guru sekolah alternatif. Mama berbalik menuju motor dengan kondisi noken yang lebih ringan, mama menawarkan Rp 20.000 dari Rp 63.000 sebagai ongkos bensin (Harga relatif ojek di Kota Jayapura). Guru pun tawaran uang tersebut, kemudian mengantarkan mama ke kios untuk membeli beras dan kembali ke rumahnya agar dapat menghidangkan makanan untuk ketiga anaknya.
Setibanya di rumah Nekiles, Mama berteriak memanggil 3 anaknya, kemudian ketiga anaknya datang dan memeluk guru tersebut. "Bu guru jang lupa eee… sebentar kita belajar olahraga" Tony mengingatkan, sambil tersenyum bu guru tersebut berpamitan untuk bergegas menyiapkan materi untuk kelas hari itu.
Mama Penina kembali bergulat dengan kayu bakar dan perkakas memasaknya untuk memasak nasi dan sayuran untuk disantap hari itu.
Sukarelawan guru tersebut kembali ke perumahan militer khususnya tempat Mama Penina melakukan transaksi, ternyata pembeli sayur Mama Penina memiliki kios sayur diseputaran kompleks militer dan pinggir jalan, tampak orang tersebut menjual kembali sayurannya dengan harga 2 kali lipat dari yang dibeli dari Mama Penina.
*bersambung…
Cttn: 21Sep 2021
---------------------------------------------------------
Penulis : Cinta G, penulis merupakan seorang buruh, guru sekolah alternatif di kota Jayapura, dan anggota aktif komunitas Green Papua.
Nama subjek: Nekiles, Tonny, Luis dan Mama Penina merupakan nama samaran untuk tujuan menjaga kerahasiaan identitas.
Urutan waktu dan kondisi riil diperoleh berdasarkan wawancara dan interaksi langsung kehidupan sehari-hari dengan subjek dalam cerita.
*ulagay adalah sebutan laki-laki dalam bahasa suku Lanny Papua.