Poster Bebaskan Victor Yeimo Tanpa Syarat.doc Green Papua |
Pra-kondisi tersebut membuat tepat pada 9 Mei 2021, Victor F Yeimo, aktivis
Pembebasan Nasional West Papua, ditangkap secara semena-mena dan tidak sesuai prosedur
oleh Satgas Nemengkawi (TNI Polri) di Jayapura, Papua. Polisi menuduh Victor melakukan
tindak pidana makar atas dasar partisipasinya dalam aksi protes anti-rasisme di
Jayapura yang berlangsung akhir bulan Agustus 2019 dimana Victor menuntut Referendum
bagi Papua. Dengan tuduhan itu polisi bisa mengancam Victor dengan pidana penjara
seumur hidup. Frans Wasini juga ditangkap dengan tujuan untuk memberatkan kasus
dugaan terhadap Victor.
Semenjak ditangkap, Victor ditahan tiga bulan dalam tahanan isolasi (solitary
confinement) yang pengap, tidak ada sinar matahari, bahkan satu-satunya ventilasi
udara ukurannya hanya 30 cm. Akses bagi keluarga dan pengacara untuk menemuinya
juga dibatasi. Akibatnya kondisi fisik Victor semakin buruk dan kurus serta sakit
maag dan paru-paru yang dideritanya semakin akut dan dikabarkan batuk-batuknya juga
sering keluar darah.
Kasus Victor belum selesai tepat pada tanggal 21 Mei 2021 Pengusuran
paksa Asrama Rusunawa dan Sakura oleh Rektor UNCEN dan PB PON. Itu terbukti bahwa
Rektor dan PB PON melakukan penggusuran paksa, dengan menggunakan tangan Satuan
Polisi Pamong Praja, polisi, dan tentara.
Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 menjadi ajang perlombaan,
terutama investor asing untuk melihat daerah stategis untuk berinvestasi. Selain
itu menjadi alat legitimasi kampanye internasional bahwa Papua baik-baik saja
bersama Indonesia dan 21 Tahun Otsus di Papua berhasil membangun serta mensejahterakan
orang Papua. Papua ditunjukan sebagai tuan rumah PON untuk memulai babak baru
sesudah Omnibus Law dan Otsus disahkan masing-masing lalu. Yang pada kenyataan
rakyat Papua sudah menolak dengan keras.
Sementara pada tanggal 16 Agustus 2021 rakyat Papua melakukan aksi
Demonstrasi guna meminta kepolisian untuk penuhi hak-hak Victor dalam tahanan lebih
khususnya soal kesehatan. Dalam Demo itu TNI Polri membubarkan paksa massa aksi
dengan Water Kanon bahkan salah satu peserta aksi atas nama Ferianus Asoo di
Yahukimo Papua di tembak dan Meninggal setelah dirujuk ke RS.Bhayangkara
Jayapura, Papua. Tepat tanggal 20 Agustus 2021 Victor diperiksa di RSUD Dok 2
Jayapura. Dokter melakukan 3 (tiga) bentuk pemeriksaan yaitu pemeriksaan ludah,
pemeriksaan rongseng dan pemeriksaan USG. Hingga saat ini Victor di rawat di RSUD
Dok 2 Jayapura.
Sementara itu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) melakukan penyerangan terhadap Posramil di
kampung Kisor pada tanggal 2 September 2021 yang mengakibatkan 4 orang anggota
Tentara Nasional Indonesia (TNI) meninggal dunia.
Merespon itu, negara mengerahkan ratusan personil TNI dan Polri ke
Maybrat dengan dalil ‘pengamanan’, serta pengejaran pelaku. Pada tanggal 3
September 2021, Kepala Penerangan Kodam XVIII/Kasuari Letnan Kolonel, Arm
Hendra Pesireron mengaku bahwa 100 sampai 150 personel telah dikerahkan. Ini
belum menghitung jumlah personel tetap di Maybrat dan Sorong Selatan. Sehingga saat
ini diperkirakan jumlah militer telah mencapai 400-an personel. Dan mereka
telah menguasai seluruh Maybrat.
Akibatnya Hampir 2.000 warga masyarakat sipil di kabupaten Maybrat
wilayah Aifat Selatan, tepatnya di kampung Kisor dan Awet Maym telah mengungsi
keluar dari desa mereka sejak tanggal 3 September 2021 akibat operasi
besar-besaran oleh militer Indonesia. Dan saat ini para pengungsi sedang
tersebar di beberapa kampung tetangga seperti Aitinyo, Sabun, Susmuk, dan
sebagainya. Ada juga yang masih bertahan di hutan dengan bahan makanan seadanya
sampai saat ini. Aktivitas belajar-mengajar pun ‘mati’ total, peternakan,
perkebunan milik warga tidak terurus, rumah dan harta benda semuanya
ditinggalkan.
Inilah wajah asli TNI dan Polri di atas tanah air West Papua.
Kondisi di wilayah Maybrat hari ini sama persis perlakuanya seperti di Intan
jaya, Nduga dan Puncak Papua, bahkan di seluruh West Papua sejak 1961 hingga
hari ini. Pendudukan Indonesia dengan pola militeristik telah menelan
500.000-an lebih jiwa penduduk asli Papua, ribuan masyarakat juga kehilangan
rumah, ternak, dan harta benda. Bahkan tidak sedikit rakyat Papua yang lahir
dan tumbuh di bawah teror psikologi juga fisik. Ditambah lagi dengan ingatan
kekerasan militer masa lalu yang selalu menghantui bayang-bayang kehidupan
orang Papua membuat hidup orang Papua kian buruk dan hancur di atas tanah
airnya.
Operasi militer selalu menjadi solusi Indonesia untuk menangani
konflik berkepanjangan di West Papua. Ini menunjukan dengan jelas bahwa
Indonesia tidak punya niat baik sama sekali untuk menyelesaikan persoalan
Papua, selain menambah deretan luka dan kekerasaan.
Otonomi Khusus (Otsus), pembangunan jalan dan infrastruktur, serta
gagasan tentang kesejahteraan untuk West Papua telah menjadi sampul untuk menutupi
kekerasan sistematis negara yang berkepanjangan, masif dan terstruktur. Sebab,
hanya dengan cara itu eksistensi kekuasaan negara borjuis yang menjajah untuk
meghisap darah dan keringat manusia dapat terus dipertahankan.
Begitulah hukum menopang jalannya ketidakadilan terhadap bangsa
tertindas. Bahkan melalui hukumnya negara ini terus-menerus menggencarkan
penderopan pasukan organik dan non-organiknya ke tanah Papua. Sampai sekarang
praktik militeristik itu telah menelan puluhan ribu korban jiwa. Pelbagai
bentuk pelanggaran HAM menyasar OAP begitu rupa: dianiaya saat di pasar dan di
sekolah; diperkosa di jalur sepi pegunungan; diculik dan dihilangkan paksa
sewaktu bekerja; ditembak mati sepulang sehabis beribadah; dibakar dan ditusuk
lalu dimasukan ke parit atau rerompahan sampah; disisir, digeledah, lalu
ditangkap langsung dari rumah-rumahnya; dan disulap kampung halamannya menjadi
arena pertempuran melenyapkan kelompok yang distigma (politik rasial) sebagai
kriminal bersenjata, separatis maupun teroris.
Praktik-praktik kekerasan inilah yang meneror hari-hari bangsa
tertindas. Sementara untuk mencari keselamatan dari kekejian militerisme dan
rasisme, maka sampai sekarang belasan ribu OAP masih mengungsi di hutan-hutan
rimba. Sedangkan TNI-Polri terus-menerus dikirim negara untuk menduduki,
menjarah, dan membangun pos-pos polisi dan tentara di atas
perkampungan-perkampungan yang telah ditinggalkan penduduknya. Dalam seminggu
terkahir saja, sudah 1.300 pasukan organik dan non-organik didrop ke sana. Dikirimnya
mereka membawa mandat sederhana: duduki wilayah, teror warga, jaga stabilitas,
bahkan jangan segan-segan membunuh.
Penangkapan Victor Yeimo saat ini merupakan salah satu, bukan satu-satunya,
dari rangkaian brutalitas dan represi negara kapitalis republik Indonesia
terhadap gerakan rakyat hari ini. Negara akan semakin represif lagi apabila
rakyat terus-terusan diam. Persatuan antar elit borjuasi dan persekutuan antara
penindas maupun penghisap harus dilawan dengan persatuan rakyat. Dengan front
persatuan. Mengumpulkan sebanyak mungkin, kekuatan, buruh, tani, mahasiswa,
mama-mama pasar, dan seluruh rakyat terindas di Indonesia maupun Papua untuk
mempertahankan dan merebut hak-hak yang kian dirampas tirani, termasuk
pembebasan Victor Yeimo.
Rakyat Papua harus membangun alternatif
politik, tidak boleh lagi menitipkan nasip politiknya melalui elit-elit birokrasi,
kepanjangan tangan dari mesin penindasan, klonial Indonesia di West Papua. Elit-elit
borjuasi lebih focus mengurusi dan mengambil keuntungan dalam proyek-proyek untuk Suksesi PON Indonesia di
Papua dan tidak memperdulikan nasib rakyat papua yang mengungsi akibat Operasi
Militer Indonesia di Nduga, Puncak, Intan Jaya dan Maybrat.
Catatan ini ditulis dengan tujuan Pendidikan, Penyadaran untuk Perjuangan bagi Pembebasan Manusia.
Bagi kawan-kawan yang tertarik untuk ikut diskusi-diskusi bersama bisa hubungi kami lewat nomor WhatsApp 081288413931/082250421532
Foto Copy dan Sebarkan !