Pernyataan Sikap Petani Papua Bergerak : Lawan Perampasan Tanah dan Wujudkan Kedaulatan Pangan

0

Gambar: Petani Papua bergerak Timika saat membagikan selebaran.


Amolongo, Nimao, Koyao, Koha,Kosao, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa! Lawan

Perampasan Lahan dan Wujudkan Kedaulatan Pangan

Hari Tani Nasional (HTN) setiap tahunnya diperingati sesuai momentum dilahirkannya undang-undang pokok agraria (UU PA) No. 5, tanggal 24 September Tahun 1960 sebagai salah satu capaian politik kaum tani dalam perjuangannya mewujudkan kedaulatan atas kepemilikan tanah, tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan berdaulat.


Rakyat Papua pada 1 desember 1961 mendeklarasikan Manifesto Politik yang meliputi; Bendera, Lambang Negara, Lagu kebangsaan dan kelengkapan lainya. Ini menandakan bahwa rakyat Papua memiliki hak berdaulat atas masa depan, berdasarkan pada perkembangan pertanian, arsitektur, politik, ekonomi dan bidang lainnya di Papua.
    
    Indonesia sebagai Negara yang ingin mengkolonisasi Papua melalui Presiden Pertama indonesia,Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA), 19 Desember 1961, yang bertujuan untuk menggagalkan, mencaplok, menduduki dan menjajah Papua.

    Indonesia meluncurkan operasi militer (baca: Operasi Mandala ) dan diplomasi Internasional yang berhasil menekan belanda sehingga menghasilkan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 dan Perjanjian Roma, 30 September 1962 antara Belanda-Indonesia dan Amerika yang dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua.

    Transfer administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia yang mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib dan pembangunan di Papua tidak menjalankan sesuai kesepakatan dalam Perjanjian New York. Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan pro kemerdekaan rakyat Papua.
    
    Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib (PEPERA, 1969) dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani kontrak pertamanya dengan pemerintah Indonesia dan merampas tanah adat suku amungme dan mengungsi ke tanah miliki suku lain yang masih kosong di sekitar pegunungan juga pesisir pantai di Timika.

    Praktik Perampasan Tanah di Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport 2 tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA).

    Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1026 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.

    Pola penjajahan Indonesia yang militeristik ini mengakibatkan banyak rakyat Papua mengungsi ke kampung kampung lain bahkan menyeberang ke PNG dan meninggalkan kampung asli, Rakyat Papua disingkirkan Negara kolonial Indonesia pasca Operasi militer menjalankan program transmigrasi (1970an) ke Papua (baca:Kolonisasi kependudukan), Negara merampas tanah milik rakyat Papua, mendirikan perumahan dan menyediakan sebidang tanah untuk diberikan kepada rakyat indonesia tidak bertanah yang berasal dari luar tanah Papua seperti Kalimantan, sumatera, Sulawesi terutama dari jawa yang tidak bertanah untuk bisa membangun ekonomi keluarga mereka di Papua. Rakyat Indonesia yang tidak tahu menahu soal Papua dan kondisi perpolitikan ini dimanfaatkan di dalam program negara untuk mengionisasi papua dengan pola kolonisasi pendudukan.

    Rakyat Papua yang hidup dibawah teror dan intimidasi akibat operasi militer terasing sementara masyarakat trasmigrasi mengembangan lahan pertanian, kota-kota mini di Papua dibawah pengawasan militer sehingga membuat rakyat Papua terus tertinggal di lapangan ekonomi. kelas-kelas sosial didalam masyarakat Papua mulai terbentuk, rakyat papua mulai diangkat sebagai tenaga administrasi, tenaga kerja lainnya, sehingga terintegrasi di dalam birokrasi kolonial di West Papua, sementara mayoritas rakyat Papua terus dirampas tanahnya demi pembangunan, investasi dan dimiskinkan.

    Kolonial Indonesia semakin massif menguasai Papua, mendirikan kota-kota sebagai pusat birokrasi kolonial dan perputaran ekonomi dengan politik pemekaran yang tujuannya untuk membangun infrastruktur sebagai pendukung(prasyarat) masuknya investasi dan akumulasi modal imperialisme, perluasan basis militer kolonial Indonesia. Negara menjalankan politik bantuan sosial berupa bantuan, kucuran dalam bentuk barang dan uang. Program Bantuan Desa (Bandes) digalakkan sejak 1969, Otonomi khusus 2021 dan Program Beras untuk kaum miskin (Raskin) sejak tahun 2003, Undangan-Undang Desa, 2014.

    Paket kebijakan Indonesia diatas membuat perubahan pola konsumsi, profesi, budaya produktif menjadi konsumtif. Uang bansos yang mengalir tersebut digunakan rakyat untuk membeli beras dan meninggal budaya berkebun sehingga rakyat tidak menjadi produktif dan bertahan hidup dari hasil kebun dan dijerumuskan kedalam aktivitas perjudian. Sementara arus barang (kapital dagang) dari luar Papua terus dipasok di seluruh tanah Papua. dengan cara ini, Negara menciptakan kondisi ketergantungan, mengontrol harga barang (baca: Ekonomi) dari luar Papua dan terus memonopoli pasar lokal di Papua. sementara rakyat terus terdampak operasi militer, stigmatisasi, tanah-tanah dirampas untuk investasi, pembangunan infrastruktur, pembangunan kota.hak agraria rakyat papua dirampas. Dalam menjalankan program kolonialnya Indonesia terus menciptakan kebijakan-kebijakan pro kapitalis dan mengirim militer untuk menjalankan operasi militer guna menekan gerakan rakyat Papua dan mengamankan aktivitas investasi kapitalis di Papua. Otonomi Khusus, 2001 adalah cara indonesia memecah belah rakyat Papua dan membuka jalan bagi investasi skala besar di Papua

Secara Nasional Indonesia meluncurkan paket kebijakan Neoliberal MP3EI, 2014 dan Omnibus Law, 2020. kebijakan-kebijakan pro kapitalis ini mengancam hak kekuasan tanah oleh rakyat Indonesia dan Papua.

    Rezim Jokowi-Ma'ruf terus menjalankan Operasi Militer di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Puncak, Maybrat dan seluruh Tanah Papua. Negara terus menambah catatan panjang penderitaan rakyat Papua dan memperbanyak catatan pelanggaran HAM. Data Media dan pernyataan resmi negara (secara terbuka) jumlah TNI Polri yang di kirim ke Papua dalam 3 tahun terakhir yaitu 21.609, yakni tahun 2019, sebanyak 10.000 tahun 2020, dari tahun 2021 kurang lebih 5.000 an. Jumlah TNI Polri yang dikirim selama 3 tahun terakhir itu tidak termasuk data jumlah kopassus, belum terhitung jumlah TNI Polri organik dan non-organik yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat. Belum terhitung jumlah milisi sipil yang dipersenjatai negara di Papua. Demikian rasio penduduk dan personil TNI Polri di Papua merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia.

    Militerisasi Papua bukan meningkatkan keamanan tapi meningkatkan kejahatan kemanusiaan. Tahun 1965 Orang Amungme Kamoro di hancurkan demi Emas Freeport, tahun 1966 penduduk Mapenduma dihancurkan demi Taman Nasional Lorentz, tahun 2018 hingga saat ini Nduga, Intan Jaya dan Puncak Papua dihancurkan demi emas senilai 8,1 juta ton di Blok Wabu, kini di Maybrat demi penguasaan hutan oleh perusahaan kayu PT. Bangun Kayu Irian dan PT Nanggala Utama. Akibat dari Operasi Militer di Nduga, Puncak Papua, Pegunungan Bintang, Intan Jaya dan Maybrat ini membuat membuat masyarakat mengungsi ke kampung tetangga, ada juga yang bertahan di hutan dengan bahan makanan seadanya hingga saat ini.

Anak-anak sekolah tidak bersekolah karena aktivitas belajar-mengajar mati total, perkebunan milik warga tidak terurus, rumah dan harta benda semuanya ditinggalkan. Ribuan pengungsi kehilangan hak asasi mereka yaitu hak atas rasa aman, hak untuk tidak disiksa, hak atas pendidikan, kesehatan, hak beribadah dan hak-hak lainnya. TNI Polri yang dikirim ke Papua maupun yang sudah ada di Papua ini tujuannya untuk membungkam gerakan dan perlawanan rakyat Papua agar investasi dan eksploitasi Sumber Daya Alam Papua. Selain itu untuk menyukseskan program kolonial Indonesia di Papua salah satunya Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 yang menjadi alat legitimasi kampanye di rakyat Indonesia dan Dunia bahwa Papua baik-baik saja bersama Indonesia dan 21 Tahun Otonomi khusus Papua berhasil membangun dan mensejahterakan orang Papua. Kekuasan kolonial Indonesia didukung oleh korporat-kapitalis yang menggurita sehingga dampaknya meluas baik di Papua, Indonesia dan Dunia.

Para korporat dan mafia tanah tidak mengenal kemanusiaan mereka hanya terus menerus mengejar berapa banyak petak tanah yang harus dikuasai untuk keuntungan ekonomi semata. Maka, dalam rangka Memperingati Hari Tani. FRONT PETANI PAPUA BERGERAK menyatakan sikap politik kami kepada Rezim Jokowi-Ma'ruf, Belanda, Amerika, dan PBB untuk segera:

1. Hentikan Segera Perampasan Tanah-Tanah Milik Rakyat oleh Negara demi Investasi Kapitalis. 2. Mengecam Tindakan Rektor Uncen, Panitia PON dan TNI-POLRI yang melakukan Penggusuran Paksa terhadap Mahasiswa Penghuni Asrama Rusunawa Uncen.

3. Tutup PT.Freeport, BP LNG, PT.BLOK WABU dan Perusahaan Multinasional yang beroperasi di Seluruh Tanah Papua.

4. Hentikan Illegal Logging, Illegal Mining dan Illegal Fishing di Papua

5. Buka Ruang Demokrasi seluas-luasnya bagi rakyat Papua

6. Hentikan penggusuran paksa mama pasar Papua

7. Tolak Otonomi Khusus Jilid II dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri.

8. Tolak pelaksanaan PON XX Papua yang dilaksanakan diatas penderitaan Rakyat Papua.

9. Hentikan Pembangunan Jalan Trans Melingkar Lukmen di Wamena dan Pembangunan PLTA di Kapiraya Deiyai.

10. Buka Akses Jurnalis Independen ke Papua

11. Wujudkan Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Lokal Papua.

12. Palang Merah Internasional segera turun ke Papua Barat untuk membantu Rakyat Papua yang terdampak Operasi Militer Indonesia di Papua.

13. Hentikan Kekerasan Seksual oleh Negara terhadap Rakyat Papua

14. Bebaskan Eko Mahasiswa Pro Demokrasi bagi West Papua yang ditahan paksa oleh POLRI di dalam kampus Uncen.

15. Bebaskan Victor Yeimo dan Tahan Politik Papua lainnya Tanpa Syarat. Demikian pernyataan sikap ini.


Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia dan West Papua untuk bersatu dan berjuang merebut cita-cita pembebasan sejati rakyat, atas perhatian dan dukungan seluruh Petani-rakyat Indonesia dan West Papua, kami ucapkan terima kasih.

Hancurkan Kapitalisme ! Hapuskan Kolonialisme! Lawan Militerisme ! Hidup Petani ! Hentikan Perampasan Lahan ! Rakyat Berdaulat ! Wujudkan Kedaulatan Pangan !


West Papua, 24 September 2021

PETANI PAPUA BERGERAK

Forum Independen Mahasiswa (FIM WP), Solidaritas Pelajar Nabire (SPN), Komunitas Green Papua (KGP), Belantara Sorong, Sinak Bersatu, Komunitas Mahasiswa Independen Somatua Intan Jaya, Kelompok Masyarakat Tani Lokal (KEMATALOK)Timika, Mama Pasar P3 Waena Jayapura, Sekolah alternatif P3 Waena Jayapura dan Individu-Individu

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Menerima!) #days=(20)

Blog kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Pelajari
Accept !
Ke Atas