PERNYATAAN SIKAP KOMUNITAS GREEN PAPUA BERGABUNG DENGAN PETISI RAKYAT PAPUA (PRP)
OTSUS "MALAPETAKA" BAGI RAKYAT DAN ALAM PAPUA
TOLAK OTSUS JILID II DAN RAKYAT PAPUA SIAP MENENTUKAN MASA DEPANNYA SENDIRI
Gambar: Logo Komunitas Green Papua |
Wilayah Papua Barat didiami oleh Rakyat Papua Barat jauh sebelum kontak dengan Dunia luar (Interkoneksi global). Suku-suku bangsa di West Papua hidup berdampingan dengan lingkungan alam yang lestari serta memiliki proses perkembangan masyarakat tersendiri sama seperti suku bangsa lain dibelahan bumi, memiliki ssstem pertanian tradisonal , arsitektur tradisional, peternakan tradisional, kebudayaan, serta kearifan lokal lainnya.
Papua Barat dikuasai oleh Belanda 1898=1962 dan dianeksasi oleh Indonesia 1 Mei 1963 setelah dilakukan perjanjian sepihak antara Belanda, Amerika,PBB dan Indonesia sebagi Penguasa saat itu, tanpa melibatkan rakyat Papua untuk menentukan masa depannya sendiri.
Sejak dianeksasi West Papua telah menjadi target Operasi Militer Indonesia untuk melenyapkan semua organisasi dan Individu yang memiliki cita-cita untuk memerdekakan West Papua. Tercatat tahun 1962 sampai 1999 terjadi 19 kasus operasi militer diseluruh Tanah Papua.
2 Tahun sebelum Drama Politik PEPERA yang penuh manipulate dan tidak demokratis. Dibidang Penglolaan Sumberdaya Alam, Industri Ekstraktif Klonial Indonesia membuat suatu Kontrak karya (KK) Pertama dengan PT.Freeport Mac Moran 1967 dan meluncurkan UU MINERBA dan PMA di Indonesia dan West Papua. PT.Freeport Tambang raksasa milik Amerika ini kemudiaa melakukan ekplorasi dan penyiapan lahan untuk pertambangan dan dikawal ketat oleh militer Indonesia, rakyat Papua, Suku Amugme yang bermukim dikawan gunung emas Ersberg dan gresberg diteror dan direlokasi (akumulasi primitive) ke daerah pesisir bersama suku kamoro.
Pendirian industry dan pengambilalihan pusat-pusat pemerintahan klonial Indonesia pasca drama PEPERA juga diikuti dengan Program Transmigrasi, 1970an dari wilayah-wilayah di Indonesia seperti Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera ke Tanah Papua. Tanah adat milik rakyat Papua diambil secara paksa dan dijadikan lahan-lahan terbangun untuk kelangsungan ekploitasi sumberdaya alam dan transmigrasi, ini justru terus menambah kesengsaraan rakyat Papua diatas negeri leluhurnya.
Rakyat Papua terus melawan semua bentuk penindasan dengan berbagai cara untuk melindungi hak politik, manusia dan alam Papua. Demonstrasi damai, gerilya dan diplomasi telah dilakukan sejak 1961-1999.
Semakin menggemanya aksi-aksi perlawanan rakyat Papua dan terbukanya kran ruang demokrasi pasca runtuhnya rezim Soeharto 1998 memberikan angin segar kepada rakyat Papua untuk membicarakan secara terbuka keinginan bangsa Papua untuk Merdeka kepada Indonesia melalui suatu bandan yang dibentuk oleh Rakyat Papua yakni Presidium Dewan Papua (PDP). Tuntun Rakyat Papua ini ditelikung oleh klonial Indonesia dengan Membunuh Pimpinan Politik Bangsa Papua Alm.Dortheys Hiyo Eluay,10 November 2001 dan Melucurkan Paket Kebijakan Politik UU 21 Tahun 2001 di Tanah Papua dengan harapan yang ilusif yakni dapat memproteksi dan memberdayaakan Rakyat Papua dan tetap berada dalam bingkai Republik Indonesia.
Realitas Hidup Rakyat Papua semenjak Otonomi Khusus diberlakukan,2001 di West Papua tidak membawa perubahan kearah yang lebih baik, justru kehidupan rakyat dan Lingkungan Alam Papua terus tergerus kedalam Ancaman hidup yang tidak ada hentinya. Indonesia terus menerapkan kebijakan top to downnya yang terus menekan rakyat Papua untuk memuluskan kepentingan nasional klonial dan Kapitalisme Global di Tanah Papua. Indonesia terus memfasilitasi Investor dengan paket-paket kebijakan prookapitalis di West Papua, ijin-ijin investasi dipermudah pendirian industry ektraktif dan industry berbasis lahan seperti kelapa sawit sangat massif.
Luas hutan Papua dan Papua Barat mencapai 37.522.132,52 hektar atau 87,38 persen dari luas total daratan Tanah Papua. Hutan Papua mengalami deforestasi serius dalam dua dekade terakhir. Hasil kajian Forest Watch Indonesia (2017), dalam 7 tahun terakhir, 2009-2016, deforestasi di Papua mencapai 170.484,32 hektar per tahun. Hasil investigasi Greenpeace Internasional (2017) menemukan, 25 industri sawit telah menggunduli lebih dari 130.000 hektar hutan, sejak akhir 2015. Dari luasan itu, 40 persennya (51.600 hektar) berada di Papua. Pasokan sawit masih digunakan untuk merek-merek terbesar di dunia seperti Unilever, Nestle, Colgate-Palmolive dan Mondelez.
Pendorong utama deforestasi di Papua adalah ekspansi industri berbasis lahan. Sebut saja, perkebunan sawit, pertambangan, kehutanan (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam/IUPHHK-HA dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri/IUPHHK-HTI), hingga 2017, ada 338 izin industri berbasis lahan yang terdiri 171 Izin Usaha Pertambangan, 114 Izin Usaha Perkebunan Sawit, dan 43 IUPHHK-HA serta 10 IUPHHK-HTI. Luas total konsesi izin sebesar 14.853.646,60 hektar. Atau 34,77 persen dari luas total Tanah Papua. Ada usaha pertambangan yang tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Dari 171 izin usaha pertambangan, yang terdiri dari 156 izin eksplorasi dan 15 izin produksi, ada 121 izin dengan status eksplorasi yang tidak memiliki IPPKH dan sebanyak 9 izin pertambangan dengan status produksi yang tidak memiliki IPPKH.
Pada tahun 2018, kembali mencuat isu illegal mining di wilayah Papua seperti, di Korowai, Paniai, Nabire, dan Yahukimo yang diduga kuat dalam operasional ilegalnya melibatkan aparat keamanan (Non-Organik) dan investor ilegal di daerah tersebut, Divestasi saham PT,Freeport Indonesia dan Perpanjangan Kontrak Karya III isu ini mencuat dikalangan Elit politik Papua maupun Indonesia sementara itu Rakyat Papua menolak dan menuntut ditutupnya PT Freeport Indonesia, perusahaan yang terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996, adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat disekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM serta dampak lingkungan dan pemiskinan masyarakat. Emas dan tembaga Freeport tidak ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Papua tetap propinsi termiskin di Indonesia dalam status klonialisasi, dengan tingkat resiko penyakit dan kematian tertinggi, dan kekerasan oleh tentara yang terbanyak di seluruh wilayah Indonesia, telah terjadi 500.000 kematian rakyat sejak Freeport dioperasikan.
Situasi Penghancuran Ekologi (Ecocide) oleh koorporaasi lainnya ditanah Papua terus terjadi melalui berbagai skema dan yang sangat masif disektor kehutanan saat ini adalah Pola pelaksanaan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) yang dimiliki perusahaan pembalak hutan maupun konversi sumber daya hutan untuk perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang konsesinya diberikan oleh Negara dan akibatnya semakin menjamur luasan perkebunan Sawit di Tanah Papua, Walaupun mendapatkan penolakan dari masyarakat Adat, operasi perusahan-perusahaan perkebunan sawit ini terus berlanjut bahkan negara selaku pelaksana kebijakan terus menunjukkan wajahnya, bahwa benar-benar mimihak kepada koorporasi melalui regulasi yang proo investasi akibatnya hutan alami papua dikonversi menjadi lahan-lahan perkebunan sawit dan masyarakat semakin kehilangan ruang hidup. sementara banyak dari rakyat papua dalam mempertahankan tanahnya kerap menuai intimidasi bahkan pembunuhan.
Kondisi Ruang hidup rakyat Papua semakin memperhatinkan, dan terus terancam dengan Politik kebijakan Top to Down yang menghasilkan Proyek-proyek yang dianggap prestisius oleh pemerintah klonial Indonesia, yang sangat populis yakni MIFFE yang diprakarsai oleh Rezim SBY-Boediono (2010) melalui paket pembangunan MPE3I dan dilanjutkan kembali dalam paket pembangunan NAWACITA Rezim Jokowi-JK (2014). Akibatnya 1,2 Juta Hektar luasan tanah adat digadaikan kepada investor oleh negara dengan tujuan utopis Swasembada Pangan Nasional, yang kemudian berdampak pada hilangnya berbagai ekosistem di wilayah konsesi, sehingga keseimbangan alam terganggu dan berdampak pada alienisasi hubungan manusia dan alam yang sudah terjalin secara turun-temurun.
Semua realitas penindasan ini terjadi selama Otonomi Khsusus diberlakukan di Tanah Papua yang menandakan bahwa Paket Kebijakan Politik Indonesia Otonomi Khusus Gagal memberikan Perlindungan terhadap pengelolaan Sumberdaya Alama dan Distribusi Hasil Pengelolaan Sumber daya alam di West Papua.
Berdasarkan Realitas ini dan akan berakhirnya masa berlaku Otonomi Khusus di Papua, kami Komunitas Green Papua menyatakan Sikap :
1. Otonomi Khusus Telah Gagal Total Menjaga dan Melindungi Manusia, Tanah-Tanah Adat dan Hutan Alam Papua.
2. Menolak Keterwakilan Politik Oleh elit-elit Politik Binaan Indonesia untuk membahas Otonomi Khusus dengan Indonesia.
3. Segera Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua Barat
4. Tutup Semua Perusahaan Milik Klonial dan Kapitalis Global di seluruh Tanah Papua.
Port Numbay, 04 Juli 2020
Komunitas Green Papua