“Kami mendesak kepada pemerintah di daerah dan pusat untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang memiliki hak kolektif untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan secara bebas, didahulukan dan diinformasikan terhadap langkah-langkah yang dapat mempengaruhi hak masyarakat atas tanah dan wilayah adatnya. Kami merasakan ketidak-adilan karena mata pencaharian dan pendapatan kami lebih baik sebelum ada perusahaan dan mandiri, dibandingkan dengan setelah ada perusahaan. Kami mengalami diskriminasi di tempat pekerjaan perusahaan, tidak mendapatkan upah layak, tidak mendapatkan jaminan sosial dan kesehatan. Tulisan ini merupakan saduran dari teks asli “Pernyataan Boven Digoel” tertanggal 05 November 2016.
Oleh Pietsau Amafnini
Foto: Pietsau Amafnini.oc pribadi/GP. |
Kesungguhan pemerintah dalam memenuhi dan memajukan upaya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan kekayaan alam lainnya, masih belum juga terwujudkan. Hal ini terlihat dari buruknya sistem perizinan dan tata kelola pemanfaatan sumberdaya alam; ditambah lagi praktik korupsi, serta rendahnya penegakan hukum dan bantuan hukum bagi masyarakat adat di Tanah Papua.
Demikian pula, Korporasi di Papua belum sepenuhnya menghormati hak-hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Korporasi mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan perlindungan tempat-tempat yang bernilai konservasi tinggi. Selebihnya, bukan hanya korporasi yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat, tetapi Justru Negara pula.
Berdasarkan situasi tersebut, kami memandang dan mendesak perlu adanya perubahan kebijakan dan penegakan hukum yang sungguh-sungguh menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Upaya penyelesaian konflik di masa lalu dan saat ini merupakan salah satu pertanda kesungguhan dari pemerintah untuk memenuhi hak masyarakat adat Papua. Pemerintah juga harus melakukan review atas ijin dan berbagai perjanjian kerjasama pembangunan, serta pemberian sangsi kepada korporasi yang merugikan hak hidup masyarakat adat Papua dan melanggar peraturan perundang-undangan. Hal ini sudah diatur dalam ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua (Pasal 40) dan masih belum dilaksanakan. Sejalan pula dengan misi Presiden Jokowi yang masih perlu direalisasikan.
Bagaimanapun perubahan kebijakan pembangunan yang adil dan berpihak pada hak masyarakat dan lingkungan, serta penyelesaian konflik struktural, harus didukung oleh pemahaman kesadaran, kekuatan dan keterlibatan masyarakat sendiri, komitmen pemerintah, dukungan organisasi masyarakat sipil dan solidaritas masyarakat luas.
Kami perwakilan masyarakat adat Auyu, Wambon dan Muyu, yang berdiam di wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, utamanya pada kampung-kampung yang menjadi sasaran investasi di sektor kehutanan dan perkebunan, telah berdialog dan berdiskusi dengan pemerintah pengambil kebijakan di Boven Digoel, serta organisasi masyarakat sipil, Yayasan PUSAKA, SKP Keuskupan Agung Merauke dan WWF Papua, mengenai kebijakan pemerintah dalam perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah dan kekayaan alam, di Asrama Putri Susteran PBHK Tanah Merah, pada 04 dan 05 Nopember 2016.
Kami berpandangan, arti dan nilai tanah ibarat mama yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia dan berbagai mahluk hidup yang ada terkandung diatas dan di dalam tanah. Bagi kami, tanah bermanfaat untuk tempat tinggal, tempat membangun kehidupan dengan sesama, tempat berburu, tempat keramat, tempat suci, tempat bersejarah, sumber makanan, sumber pendapatan, sumber obat-obatan, identitas sosial budaya yang khas, tempat hidup bagi hewan dan tumbuhan, harta kawin, serta tempat benda-benda yang kelihatan dan tidak kelihatan.
Kami masyarakat adat menguasai dan memiliki tanah dan kekayaan alam bersumber dari hukum-hukum adat dan kebiasaan yang hidup dalam masing-masing masyarakat adat, seperti: sistem waris, pemberian dan denda. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah masih menggunakan sistem pengetahuan dan kebiasaan setempat, musyawarah, gotong royong, tenaga keluarga, menggunakan alat-alat tradisional dan dalam skala kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta memperhatikan keberadaan kelestarian lingkungan alam.
Saat ini, kami sedang menghadapi masalah dan ancaman atas kehadiran dan kegiatan investasi perusahaan pembalakan kayu dan perkebunan kelapa sawit yang mengambil dan memanfaatkan tanah dan hasil hutan di wilayah adat kami dalam skala luas, yakni: perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Tunas Sawa Erma (Korindo), PT. Usaha Nabati Terpadu, PT. Trimegah Karya Utama, PT. Megakarya Jaya Raya, PT. Manunggal Sukses Mandiri, PT. Megakarya Jaya Raya, PT. Kartika Cipta Pratama, PT. Graha Kencana Mulia, PT. Energi Samudera kencana, perusahaan pembalakan kayu PT. Tunas Timber dan PT. Bade Makmur Orissa, keseluruhan luasnya mencapai 1.088.394 hektar.
Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tanpa ada musyawarah dan persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat adat setempat. Perusahaan memperoleh lahan tanpa ada musyawarah dan negosiasi yang bebas dan adil. Perusahaan menggunakan cara-cara pembayaran disebut “tali asih” untuk melepaskan tanah, memberikan rayuan, fasilitas bantuan dan janji-janji pembangunan, ancaman kekerasan dan tidak terbuka, manipulasi dan tandatangan diatas kertas kosong. Pemberian tali asih dan atau uang kompensasi yang berlangsung secara diam-diam dan sepihak justeru hanya menimbulkan pertentangan ketegangan dalam anggota masyarakat, saling curiga dan tidak ada perasaan harmonis.
Sejumlah contoh kasus pun sudah menjadi bukti bagi masyarakat adat Ha-Anim. Perusahaan-perusahaan melakukan negosiasi dan kontrak tidak jelas: merayu, janji-janji kesejahteraan, tidak ada negosiasi, ancaman kekerasan (korban Gabriel di Watemu), korban kekerasan Basilius Kubu di Getentiri, tertutup dan tidak bebas atau terpaksa (Kasus Anggai).
Kami menyaksikan perusahaan membongkar dan menggusur hutan alam, dusun sagu, kebun karet, kebun buah-buahan, tempat keramat, kampung lama, dan sungai menjadi dangkal, kotor dan tercemar. Akibatnya, kami yang hidup sangat tergantung pada hasil hutan kehilangan hutan dan tanah-tanah, kehilangan dan kesulitan memperoleh pendapatan, kehilangan tempat berburu, tempat bersejarah dan budaya hilang, bahan makanan dan sumber pangan, serta air bersih. Pembuangan limbah ke sungai dan rawa-rawa yang tidak sesuai standar mengakibatkan masyarakat takut mengkonsumsi hasil sungai dan dusun sagu.
Berbagai hewan liar dan hewan buruan menjadi langka dan sulit diperoleh, seperti: burung cenderawasih, kasuari, mambruk, rua, walep, babi, ayam hutan, kuskus, burung urip dan kakatua, ikan arwana, ikan mas akasi, udang batu.
Kami merasakan ketidak-adilan atas pembayaran berbagai jenis kayu-kayu produksi yang digusur hanya dibayarkan sebesar Rp. 10.000 per kubik dan pohon sagu Rp. 10.000 per pohon, nilainya murah dan tidak sebanding dengan harga di pasar kayu setempat. Kayu-kayu dibawa ke pabrik perusahaan kayu milik perusahaan. Kami melihat juga kayu-kayu produksi tersebut ditimbun, tidak digunakan dan dibakar.
Kami merasakan ketidak-adilan karena mata pencaharian dan pendapatan kami lebih baik sebelum ada perusahaan dan mandiri, dibandingkan dengan setelah ada perusahaan. Kami mengalami diskriminasi di tempat pekerjaan perusahaan, tidak mendapatkan upah layak, tidak mendapatkan jaminan sosial dan kesehatan.
Kami khawatir dan prihatin atas berbagai permasalahan tidak adanya hak atas kebebasan dan rasa aman, tidak ada keadilan, ekonomi semakin buruk, pendidikan anak sekolah terabaikan, lemahnya perlindungan dan penegakan hukum, daya dukung lingkungan menurun dan meningkatnya ketegangan antara masyarakat, maupun antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah. Permasalahan ini akan mengancam keberlangsungan hidup kami sebagai orang Papua, “Kalau hutan habis, maka akan terjadi penderitaan, Orang Papua tersingkir dan miskin, identitas budaya hilang, tidak bisa hidup baik”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional dan peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia dan hak-hak dasar orang Papua yang harus dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan, dikurangi dan dirampas oleh siapapun. Serta, mengingat bahwa hak masyarakat adat untuk secara bebas dan tanpa ada tekanan menentukan dan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya, serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Memperhatikan kewajiban negara untuk melindungi, menghormati dan memajukan hak-hak masyarakat. Maka, kami perwakilan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil menyatakan, sebagai berikut:
Kami mendesak kepada pemerintah daerah untuk melakukan peninjauan ulang dan aktif melakukan pengawasan terhadap izin-izin perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pembalakan kayu yang aktif dan tidak aktif, dilakukan secara terbuka dan melibatkan masyarakat adat. Pemerintah segera mencabut izin-izin yang merugikan hak masyarakat adat Papua, cacat hukum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Kami meminta pemerintah daerah dan pusat untuk memfasilitasi dan menanggapi hasil-hasil pengawasan dan laporan pemantauan masyarakat berhubungan dengan penyimpangan kegiatan perusahaan di wilayah adat kami.
Kami mendesak kepada pemerintah di daerah dan pusat untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang memiliki hak kolektif untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan secara bebas, didahulukan dan diinformasikan terhadap langkah-langkah yang dapat mempengaruhi hak masyarakat atas tanah dan wilayah adatnya.
Kami mendesak kepada pemerintah daerah untuk melindungi, menghormati dan memajukan hak-hak masyarakat adat Papua, dengan mengeluarkan Peraturan Daerah tentang pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak masyarakat adat Papua dan hak atas tanah adat di wilayah Kabupaten Boven Digoel. Pemerintah daerah segera membuat dan melaksanakan program pemetaan tanah adat dan tempat penting.
Kami juga mendesak kepada perusahaan untuk menghormati hak-hak masyarakat adat, melindungi tempat-tempat penting masyarakat, melakukan musyawarah dan mufakat melibatkan banyak orang dalam perolehan lahan, serta menghormati keputusan masyarakat untuk tidak memberikan tanah dan hutan bagi kepentingan perusahaan.
Kami mendesak pemerintah daerah untuk aktif terlibat menyelesaikan ketegangan dan konflik yang ditimbulkan dari kegiatan investasi dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat Papua yang merugikan hak-hak hidup Orang Asli Papua, dengan cara-cara dialog damai dan adil, serta merehabilitasi dan memulihkan hak-hak masyarakat adat Papua.
Kami mendesak kepada pemerintah daerah untuk menghasilkan kebijakan dan program pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat Papua, utamanya usahausaha dan kelembagaan ekonomi kerakyatan setempat, yakni: memfasilitasi pengembangan budidaya tanaman karet, pemasaran dan pembelian hasil karet, koperasi dan kelompok petani karet di setiap kampung.
Kami mendesak kepada pemerintah daerah dan pusat untuk mengeluarkan kebijakan dan program yang mengamankan tanah sumber pangan dan usaha pengelolaan hasil pangan masyarakat, utamanya bagi perempuan Papua.
Kami yang menandatangani Pernyataan Boven Digoel ini adalah Perwakilah Komunitas Masyarakat Adat dan Para Aktivis LSM di Tanah Papua: 1) Lukas Kemon, Kampung Meto, Distrik Subur; 2) Alowesius Basik-basik, Kampung Meto, Distrik Subur; 3) Herman Kaize, Kampung Meto, Distrik Subur; 4) Paulus Osnagi, Kampung Yang, Distrik Subur; 5) Romanus Erwaro, Kampung Yang, Distrik Subur; 6) Adrianus Yebma, Kampung Yang, Distrik Subur; 7) Emanuel Bofi, Kampung Yang, Distrik Subur; 8) Barnabas W, Bofi, Kampung Hobinangge, Distrik Ki; 9) Felix Ketang, Kampung Hobinangge, Distrik Ki; 10) Rafael Tino, Kampung Hobinangge, , Distrik Ki; 11) Hilarius Kadima, Kampung Hobinangge, Distrik Ki; 12) Justinus W. Misa, Kampung Watemu, Distrik Ki; 13) Paulus Gurma, Kampung Watemu, Distrik Ki; 14) Geradus Essu, Kampung Watemu, Distrik Ki; 15) Paulus Saku, Kampung Getentiri, Distrik Jair; 16) Michael Felix Yonggap, Kampung Getentiri, Distrik Jair; 17) Albertus Tenggare, Kampung Getentiri, Distrik Jair; 18) Agustinus Montayop, Kampung Getentiri, Distrik Ki; 19) Stevanus Mianggi, Kampung Anggai, Distrik Jair; 20) Marselus Poma, Kampung Ujung Kia, Distrik Ki; 21) Felix Wonte, Kampung Ujung Kia, Distrik Ki; 22) Martha Kandam, CAMP 19 Asiki, Distrik Jair; 23) Kornelis Kingdom, CAMP 19 Asiki, Distrik Jair; 24) Franky Samperante, PUSAKA, Jakarta; 25) Pastor Felix Amias, SKP Keuskupan Merauke; 26) Octovianus Waken, SKP Keuskupan Merauke; 27) Cornelis Tuwong, SKP Keuskupan Merauke; 28) Bernadus Tethool, Lestari Kantor Boven Digoel.***