Ironi di Tanah Surga

0
Oleh : Mariana Lusia Resubun

Foto : Marioana Lusia Resubun./Doc.pribadi.

“Tanah kami tanah kaya, laut kami laut kaya. Kami tidur di atas emas, berenang di atas minyak. Tapi bukan kami punya, semua anugerah itu, kami cuma berdagang buah-buah pinang”
, sepenggal lirik lagu yang berjudul “Suara Kemiskinan” dari Franky Sahilatua. Lagu yang menceritakan sebuah ironi kemiskinan di tanah Papua yang kaya. 

Tanah Papua adalah tanah surga, sebuah analogi yang coba digambarkan oleh Frangky Sahilatua dalam lagunya yang berjudul “Tanah Papua”. Sebuah analogi yang sangat tepat menggambarkan keindahan dan kekayaan alam tanah Papua, hutannya yang hijau, lautnya yang kaya, tanahnya yang subur, hasil tambangnya yang berlimpah. Burung cendrawasih atau Birds of Paradise menjadi bagian tak terpisahkan dari Tanah Papua, burung yang sangat cantik sehingga layak diumpamakan sebagai “burung dari surga”. Namun sayang karena keserakahan manusia burung-burung ini lebih banyak terbujur kaku, menjadi perhiasan ataupun cenderamata yang ramai diburu kolektor. Mungkin menjadi lebih indah bagi kebanyakan orang, apabila melihatnya menjadi hiasan semata, dibandingkan melihatnya terbang bebas di hutan. Ada pula Raja Ampat, surga destinasi wisata bawah laut yang tersohor dimana-mana karena keindahannya,  dan diibaratkan sebagai “perpustakaan hidup” karena koleksi terumbu karang dan biota laut paling beragam dan lengkap di dunia. Raja Ampat menjadi magnet bagi para pecinta wisata bawah laut, sekaligus magnet bagi para pelaku pencurian dan pengeboman ikan. Pulau dan lautnya yang sangat luas, namun dengan keamanan yang minim menjadi sebuah alasan klasik terjadinya tindak kejahatan. Siapa yang tidak tahu Puncak Cartenz/Puncak Jayawijaya? Sebuah puncak gunung yang menyimpan salju abadi, salju di daerah tropis. Namun sayang, salju abadi tersebut mulai mencair dan menipis karena pemanasan global. Akibat keserakahan manusia mengeksploitasi hutan dan alam.

Papuaku tanah surga. Sebagai anak rantau yang jauh dari tanah Papua, ketika saya menyebutkan asal saya dari Papua, teman-teman ramai menyebutkan Raja Ampat. Teman-teman berkata, betapa beruntungnya saya karena berasal dari Papua. Saya dianggap sering mengunjungi Raja Ampat. Saya hanya tertawa dan meminta untuk menujukkan peta, saya katakan lebih murah ke luar negri, misalnya Malaysia dan Singapura jika dibandingkan dengan pergi ke Raja Ampat. Saya di Merauke, ujung paling timur Indonesia dan paling selatan Tanah Papua, setidaknya saya membutuhkan 2 kali perjalanan naik pesawat dari Merauke ke Jayapura, setelah itu Jayapura ke Sorong, barulah dilanjutkan naik kapal cepat atau perjalanan darat ke Waisai-Raja Ampat. Masalah tingginya biaya dan sulitnya akses transportasi menjadi alasan klasik bagi kami orang Papua, untuk sedikit mengeksplorasi keindahan alam yang dilukiskan dan dianugerahkan Tuhan di tanah kami. Walaupun saya asal Papua, Papua bagiku hanya sekedar Merauke (tempat tinggal saya dan keluarga), juga kota Jayapura dan Manokwari.  Itu pun kebanyakan tiket gratis untuk keluar Merauke. Saya tidak punya uang untuk membeli tiket pesawat keliling Papua. Ripto Mulyono, salah seorang pendaki Puncak Cartenz dalam tulisannya yang dimuat dalam National Geographic Indonesia, menyebutkan karena letak dan aksesnya yang sulit Carstensz menjadi salah satu gunung termahal di dunia. Biaya pendakiannya mencapai 1.800 dolar AS atau sekitar 18 juta rupiah sekali mendaki. 

Papuaku tanah surga, kaya akan hasil buminya. Kilang minyak mentah milik Pertamina ada di Sorong, sehingga Kota Sorong dijuluki sebagai kota minyak. Saat ini, saya berada di Kota Manokwari Provinsi Papua Barat, penerbangan saya dari Jakarta ke Manokwari transit di Sorong, lalu penerbangan dari Sorong ke Manokwari kurang lebih  30 menit. Saya kaget ketika mengetahui harga satu jeriken minyak tanah yang berisi 5 liter minyak tanah, di pedagang eceran dihargai Rp 45.000 - Rp 50.000. Padahal tidak ada program pemerintah untuk konversi minyak tanah ke gas LPG seperti di Pulau Jawa. Harga bensin di pedalaman Papua bisa mencapai Rp 200.000 - Rp 250.000/liter. Medan yang sulit menjadi penyebab mahalnya harga bensin di pedalaman Papua.  Transportasi udara menjadi satu-satunya alat transportasi menjadi penyebab mahalnya harga kebutuhan pokok, seperti yang terjadi di Distrik Moskona Timur Kabupaten Teluk Bintuni, ataupun di Kabupaten Wamena. Pembukaan kilang minyak baru dan pembangunan jalan menjadi jawaban akan masalah pelik yang terjadi di tanah Papua. Namun sayang, hal ini bukanlah jaminan kesejahteraan warga. Apakah sarana prasarana transportasi yang dibangun murni untuk kepentingan rakyat? Ataukah sebagai “motor” untuk membonceng kepentingan lain, seperti masuknya investor kegiatan pertambangan, perkebunan sawit dan proyek persawahan. Lapangan pekerjaan untuk peningkatan kesejahteraan hanya “janji manis”, masyarakat pemilik hak ulayat kalah saing dengan tenaga ahli lulusan perguruan tinggi.  Menjadi buruh kasar atau petugas keamanan seakan menjadi posisi wajib bagi masyarakat asli, kalaupun ada jabatan lain pastilah menjadi minoritas dibandingkan tenaga kerja dari luar.

Papuaku tanah surga. Siapa yang tidak tahu PT Freeport Indonesia di Timika. Perusahaan tambang raksasa penghasil emas, perak dan tembaga. Ketika saya menyebutkan asal saya dari Papua, saya dikatakan “banyak uang”. Kata mereka orang-orang dari Papua banyak uang, tanahnya banyak, emasnya banyak, jadi orang Papua kaya-kaya. Saya hanya tertawa dan menjawab komentar tersebut dengan berkata, hanya pejabat dan tuan tanah yang banyak uang. Saya sekolah di luar Papua karena beasiswa pemerintah pusat, orang tua saya tidak punya biaya untuk menyekolahkan saya di luar Papua. Saya katakan tontonlah kembali film Denias, Senandung di Atas Awan, tonton juga film Laskar Pelangi. Kesejahteraan pemilik hak ulayat hanya menjadi sebuah impian. Sebuah impian layaknya impian para alumni perguruan tinggi dari luar pulau Papua bahkan luar negri, yang dilengkapi ijazah, keterampilan berbahasa asing dan berbagai kecakapan lainnya untuk meraih kesejahteraan di tanah Papua. Sebuah impian yang mudah diraih oleh para perantau ini, kesejahteraan dan gaji yang tinggi, tidak lupa berbagai fasilitas mewah, tidak percaya? Lihatlah kota percontohan seperti Kuala Kencana di Timika yang menjadi tempat tinggal para karyawan atau perumahan Jebus PT Timah Bangka Belitung. Bandingkan dengan kondisi masyarakat asli yang tanahnya digali untuk dijadikan areal pertambangan sebagai penyumbang devisa negara. Apakah sama kondisi kesejahteraan masyarakat lokal dengan para pendatang?

Papuaku tanah surga, surga yang dilimpahi dengan segala kekayaan alamnya, termasuk surga untuk para transmigran.  Transmigrasi pertama dilakukan kolonial Belanda (tahun 1905 dan berlangsung hingga tahun 1944). Sebanyak 89.374 kepala keluarga (KK) atau 351.734 jiwa dari pulau Jawa dipindahkan ke Lampung. Hal ini merupakan upaya pemerintah Belanda mengurangi kemiskinan dan bencana kelaparan yang melanda pulau Jawa akibat cultuur stelsel (tanam paksa) yang berlangsung dari tahun 1830 - 1870. Meneruskan kebijakan pemerintah Belanda, tahun 1964 pemerintah Indonesia memindahkan ratusan KK dari Jawa ke Papua. Merauke mendapat bagian 77 KK. Hutan sagu, pohon bus, rawa-rawa hilang, status dan kepemilikan lahan beralih nama dan fungsi. Nama-nama dari tempat keramat diganti, Kumb menjadi Kumbe, Matakanis menjadi Kurik IV, Maibal Suba menjadi Rawasari, Mbaepol menjadi Harapan Makmur, Ndokapal menjadi Telaga Sari, Selrti menjadi Salor Indah  (Arsip “Etnografi Malind-Anem” Katuk Muyu, 2015). Sudah sejahterakah para transmigran? Tentu saja rata-rata para transmigran menjadi orang-orang sukses berkat keuletan dan kerja keras mereka.  Coba datanglah ke Papua, sebagai anak Merauke saya hanya bisa menyarankan datang dan lihatlah perbandingan antara kampung lokal masyarakat asli Papua dan masyarakat transmigran. Jangan pernah berpikir untuk susah membandingkan karena akan terlihat nyata sekali perbedaannya.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan (acseleration development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama Orang Asli Papua (OAP). Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai pelaku sekaligus sasaran pembangunan. Orang asli Papua adalah pemilik hak ulayat di tanah Papua. Hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Masyarakat memiliki hak untuk menguasai tanah dimana pelaksanaannya diatur oleh kepala suku atau kepala desa (Kartasapoetra 1985). 

Pengertian hak ulayat dan masyarakat adat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 1999, hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Papuaku tanah surga, surga mengejar mimpi bagi para pendatang untuk menjadi Pegawai Negri Sipil (PNS) ataupun untuk membuka usaha di sektor swasta. Adanya otonomi khusus dan pemekaran daerah menjadikan tanah Papua surga untuk mencari nafkah. Pembangunan dimana-mana, membutuhkan banyak tenaga kerja dan orang-orang terdidik dan terampil untuk mengisi lini-lini terdepan berbagai sektor pembangunan. Otonomi khusus dan pemekaran daerah menjanjikan sebuah kesejahteraan. Menjadi sebuah pertanyaan apakah kesejahteraan ini dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat terutama dinikmati oleh OAP selaku pemilik hak ulayat? Yah mungkin kesejahteraan itu dinikmati oleh sebagian pemilik hak ulayat yang mempunyai jabatan dalam dunia pemerintahan. Kesempatan untuk mengumpulkan rupiah, kesempatan untuk mengoleksi mobil pribadi dan kesempatan untuk mengisi pundi-pundi kekayaan sebagai warisan hingga generasi ke 7. Apakah seluruh OAP menjadi tuan pembangunan di negerinya sendiri? Atau hanya sebagian saja dan yang lainnya menjadi bagian dari kaum pendatang, dan sebagian besar OAP hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri. Untuk mereka OAP yang “tahan banting”, akan melihat ini sebagai suatu tantangan untuk bersaing secara sehat, mengejar ilmu setinggi-tingginya memanfaatkan peluang beasiswa untuk bersekolah ke luar daerah dan luar negri agar siap menjadi tuan pembangunan di negerinya sendiri.

Otonomi khusus menjadi sebuah harapan untuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup Orang Asli Papua. Otonomi khusus menjanjikan kekayaan bagi para pejabat yang hobi korupsi. Menjadikan orang melupakan nuraninya, kesempatan menerima “amplop” bagi para pejabat korup untuk meluluskan mereka yang banyak uang, lulus menjadi PNS. Jadi jangan heran kalau mendengar berita pengumuman kelulusan PNS di tanah Papua, banyak “nama-nama asing” non Papua yang tembus dan seleksi Calon Pegawai Negri Sipil (CPNS). Lalu bagaimana dengan para sarjana asli Papua? Menjadi penonton seakan menjadi peran wajib bagi sang pemilik hak ulayat. Dampak otonomi khusus dan pemekaran daerah bagi pemilik hak ulayat yang belum siap adalah menjadikan kami semakin tergusur dan terpinggirkan di tanah sendiri. Menjadikan kami sebagai pelaku tindakan kriminal. Akhirnya nasib kami berakhir sebagai penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas). Akar dari tindakan kriminal adalah kurangnya kesejahteraan, rasa tidak adil, muncul kecemburuan sosial di atas tanah kami sendiri. Sebagian dari kami melakukan tindakan kriminal untuk mempertahankan hidup. Hidup yang sungguh keras di tanah kami sendiri. Hukum di negeri ini yang kadang tidak adil, “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. 

Saya anak Merauke dan hati saya menjadi sakit melihat anak-anak aibon (anak-anak yang menghirup lem aibon dan memberikan efek kecanduan) yang menjadi “tukang parkir dadakan” di depan toko-toko di Merauke. Terkadang mereka juga menjadi peminta-minta dengan berkata “kaka ada seribu k?”. Batin ini menangis, apakah ini buah otonomi khusus menjadikan pendatang sejahtera dan pemilik hak ulayat menjadi peminta-minta di tanahnya sendiri? Bukan salah anak-anak ini, apabila sebagian dari orang tua mereka menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan. Apakah ini salah orang tua mereka? Atau salah anak-anak itu sendiri? Atau sebuah kesalahan sistem yang menyamaratakan semua orang atas nama pembangunan. Kami yang terbiasa meramu dari alam atas nama pembangunan disamakan dengan orang yang terbisa bercocok tanam dan bekerja keras. Tentunya kami yang terbiasa meramu dari alam akan kalah saing, kami terbiasa dimanjakan dengan kekayaan alam kami. Ketika berbagai pembangunan yang ditawarkan kepada kami hanya sebagai pemanis, terkesan “panas-panas tahi ayam”, yang penting ada laporan kegiatan dan dokumentasi berupa foto bersama kami di kampung lokal. Apakah ada yang bersedia tinggal lebih lama bersama kami, di tengah keterbatasan, jauh dari sumber listrik, layanan hiburan dan komunikasi. Mengajarkan kami berbagai ilmu dengan sungguh-sungguh dan telaten, sehingga dapat kami serap dengan baik. Bukan hanya berupa pendampingan satu atau dua kali, sehingga kami menjadi lupa dan tidak tahu harus mulai darimana lagi.

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, merupakan bunyi Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, kekayaan alam tanah kami telah dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Emas kami digali, minyak bumi kami diambil, apakah kami sudah sejahtera? Iya kami menjadi sejahtera dengan berjualan pinang di pinggir-pinggir jalan, fasilitas pendidikan dan kesehatan belum sepenuhnya kami nikmati. Akses jalan, jembatan dan sarana transportasi belum sepenuhnya kami nikmati, masih banyak hasil kebun kami yang menjadi busuk karena kami kesulitan untuk menjualnya. Masih banyak anak-anak kami yang terpaksa kembali ke kampung karena kerasnya kehidupan di kota, tidak ada tempat tinggal dan makanan untuk bersekolah di kota.

Apakah kami tidak punya hak untuk mempertahankan tanah kami? Apakah kami harus menjualnya atas nama investasi dan pembangunan? Apakah tekanan dari mereka yang “bersenjata” harus menjadi “teman” kami sehari-hari. Apakah kami harus melihat saudara atau anak kami mengorbankan nyawa untuk mempertahankan tanah kami? Apakah kami harus menjadi “Salim Kancil” yang lain dari tanah Papua. Sebenarnya banyak darah anak negeri telah “tumpah” membasahi tanah ini, tumpah untuk mempertahankan tanah warisan leluhur. Tetapi pemberitaan itu tidak seheboh yang terjadi di luar Papua, orang Papua mati untuk mempertahankan tanahnya seakan menjadi hal biasa. Banyak pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di tanah ini, namun seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Hutan dan tanah Papua harus dibabat dan dibuka demi kesejahteraan, tetapi kesejahteraan untuk siapa?

Sebagai pulau terbesar di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 786.000 km2, konversi lahan atau alih fungsi lahan banyak terjadi di tanah Papua. Hutan Papua dibuka untuk dijadikan areal tambang beserta kota percontohannya, dijadikan areal pemukiman dan transmigrasi, semua atas nama pembangunan. Okelah semua sudah terjadi di tanah kami, kami tidak mempersoalkan kegiatan transmigrasi yang telah terjadi di tanah kami. Karena saudara-saudara transmigran telah menjadi bagian dari kami. Tetapi kami mohon, tolong jangan ditambah lagi orang dari luar untuk datang ke tanah kami atas nama pembangunan dan investasi. Karena kenyataannya selama ini, pembangunan dan investasi bukan untuk kesejahteraan kami. Apakah kami harus semakin tergusur dan tersingkirkan dari tanah kami sendiri? 

Lumbung Pangan di Merauke, sebuah cita-cita mulia untuk memberi makan penduduk Indonesia dengan memanfaatkan 1,2 juta hektar lahan datar untuk dijadikan sawah. Artinya 1,2 juta hektar hutan dibuka dan 1,2 juta orang dari luar Merauke siap didatangkan sebagai petani padi. Salah satu penyebab pembukaan hutan di Papua untuk dijadikan sawah adalah karena economic land rent (nilai ekonomi lahan) dari sawah sangat rendah di Pulau Jawa. Petani ramai-ramai menjual tanahnya untuk dialih fungsikan menjadi penggunaan lain, karena menjadi petani padi tidak menjanjikan kesejahteraan. Sebagai anak rantau yang sedang sekolah di Bogor - Jawa Barat, saya merasakan dan melihat sendiri hal tersebut, banyak areal persawahan yang diubah menjadi bangunan, baik rumah maupun tempat usaha. Padahal selama ini kita tahu tanah Jawa sebagai penghasil beras terbesar bagi bangsa ini. Hal ini menjadi ancaman bagi ketahanan pangan penduduk Indonesia, maka daerah di luar Jawa menjadi sasaran program pengadaan beras. Terkadang menurut saya tidak adil, ketika pembangunan seolah hanya terpusat di Jawa, sebagai kawasan perkotaan, industri, tempat berdirinya sekolah dan perguruan tinggi ternama di Indonesia. Saya tidak mempunyai sentimen secara pribadi kepada tanah Jawa dan orang Jawa, karena saya sadar tanah Jawa dan orang Jawa, banyak mengajarkan arti berjuang dan bekerja keras untuk maju. Saya banyak belajar dan mendapatkan ilmu di tanah Jawa. Saya menjiwai ini, bahwa kita adalah saudara dalam perbedaan yang dibingkai dengan indah oleh semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Menjadi tidak adil adalah ketika pemerintah menjadikan tanah Jawa sebagai pusat pemerintahan, pusat pembangunan, pusat industri, pusat perdagangan, pusat pendidikan dan sebagainya. Padahal melihat tanahnya yang subur, pemerintah Belanda telah menetapkan daerah Jawa sebagai daerah penghasil pangan. Namun nasib para petani tidak diperhatikan, petani adalah profesi yang tidak menjanjikan kemakmuran di tanah Jawa. Akhirnya banyak petani padi “gulung tikar”, sawah dijual, berbuntut pada pengangguran  para petani gurem atau pun petani upahan. Hal ini seperti lingkaran setan, petani kehilangan tanah dan pekerjaannya, manusia Indonesia terancam kekurangan beras. Dan program ketahanan pangan seperti Lumbung Pangan menjadi solusi, solusi untuk kesejahteraan rakyat dan solusi untuk menjawab kebutuhan pangan. Tetapi apakah masyarakat pemilik hak ulayat daerah sasaran Lumbung Pangan pun ikut sejahtera? 

Pemetaan wilayah hak adat menjadi salah solusi untuk menyelamatkan hutan, tanah dan orang asli Papua agar tidak “hilang” di tanahnya sendiri. Perlu dasar hukum yang menjadi “payung” perlindungan hak-hak masyarakat adat. Perlu dilakukan pendataan jumlah suku dan jumlah jiwa, masyarakat adat yang masih hidup di kampung-kampung atau di hutan-hutan. Perlu ada lembaga adat yang benar-benar melindungi mereka dan hak-hak mereka, bukan mereka yang hanya duduk di kota dan mengatasnamakan masyarakat adat, namun terkadang kurang berpihak kepada mereka yang hidup di kampung-kampung. Perlu ada pemetaan wilayah indikatif suku-suku asli Papua, sehingga wilayah mereka dilindungi dan tidak beralih fungsi menjadi areal penggunaan lain, misalnya menjadi perkebunan sawit dan sawah. Hutan dan tanah masyarakat adat, perlu menjadi bagian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang (RTRW) baik provinsi maupun kabupaten di Papua dan Papua Barat. Sehingga manusia, hutan dan tanah Papua bisa dilindungi. Orang asli Papua tidak menjadi penyewa di atas tanahnya sendiri, masih ada mata air dan hutan yang diwariskan untuk anak cucu. Bukan air mata dan bencana yang diwariskan, karena hutan dan alam telah rusak akibat keserakahan pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

Saya berharap ada rasa malu hati bagi setiap pendatang yang ada di tanah Papua, yang mencari makan dan menumpang hidup di tanah Papua. Rasa malu hati apabila datang ke tanah Papua sekedar untuk mencari Nomor Induk Pegawai (NIP), dan setelah NIP ada di tangan lalu pulang kembali ke daerah asalnya di luar Papua. Malu hati kalau memandang orang Papua dan tanah Papua sebagai objek untuk mengumpulkan harta kekayaan. Malu hati apabila memandang orang asli Papua sebagai musuh yang layak disingkiran karena mempertahankan tanahnya, dengan menolak berbagai investastasi yang pada kenyataannya hanya menguras kekayaan alam Papua dan merusak lingkungan. Malu hati apabila bekerja dan berkarya di tanah Papua tidak menggunakan “hati” untuk membangun masyarakat asli Papua. Coba bayangkan apabila di tanah asal anda masing-masing, kaum pendatang menjadi mayoritas dan dominan, sedangkan anda hanya menjadi penonton. Apakah anda merasa bahagia?

Mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila tulisan saya ini menyakiti hati pembaca. Saya hanya menulis berdasarkan kenyataan yang terjadi di Tanah Papua. Saya pun pendatang asal Kei (Maluku Tenggara), merupakan generasi keempat dari guru perintis di Merauke. Saya sadar, saya hanya menumpang lahir, menumpang hidup, menumpang cari makan di tanah Papua. Tetapi satu yang saya yakini, saya sangat mencintai Tanah Papua dan tidak ingin menjadi “kacang lupa kulit” untuk tanah yang telah memberikan saya hidup. Mari kita semua yang ada di tanah Papua, baik pendatang maupun Orang Asli Papua, mari wujudkan suatu pembangunan yang berkelanjutan di tanah ini. Pembangunan yang dapat diterima secara sosial dan ekonomi, namun tidak merusak lingkungan. Bangun Papua dengan hati dan kasih untuk mewujudkan “Papua Tanah Damai”. Jangan ada lagi air mata ketidakadilan dan sakit hati. Ingat alam ini titipan untuk anak cucu di masa depan, bukan warisan yang harus kita foya-foya di masa sekarang.***Anak kampung dari Merauke.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Menerima!) #days=(20)

Blog kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Pelajari
Accept !
Ke Atas