Foto : Panitia Pemutaran Film dan diskusi bersama beberapa Peserta seusai kegiatan. doc GP |
Komunitas Green Papua dan Kelompok Studi Pendidikan Agraria (KSPA) UM, sudah menyelenggaran Pemutaran Film the MAHUZEs dan diskusi, di Cafe Pustaka Universitas Negeri Malang, Kamis,(16/03/2017).
Acara ini diikuti oleh kurang lebih 50 Orang peserta, yang berasal dari beberapa Organisasi yang berfokus menyuarakan isu Lingkungan Hidup dan HAM di Jawa Timur.
Diskusi tersebut menghadirkan empat Pemantik. Pemantik Pertama Merie Oktinun selaku Putri asli Merauke menyampaikan kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat setempat, sebelum dan setelah MIFEE beroperasi di Merauke. Pemantik Kedua Fransiskus Madai menyampaikan sejarah eksploitasi sumber daya alam di Merauke semenjak masa Koloni Belanda maupun koloni Indonesia. Kemudian Pemantik Ketiga Yudha Prasetya selaku Ketua KSPA UM menjelaskan terkait legalitas dan tujuan Negara tentang ilusi swasembada Pangan Nasional. Pemantik Keempat Yohanes Giyai selaku Ketua Green Papua (GP) menyampaikan kajian tentang dampak lingkungan yang dapat muncul akibat proyek MIFEE yang sangat ambisius dilaksanakan oleh pemerintah dan investor.
Berbagai pertanyaan oleh audiens muncul sebagai respon dan antusias atas kajian diskusi tersebut. Salah satu audies Abdul Kodil menyampaikan pandangan sekaligus kritikan terhadap pemerintah “Ada tiga aspek yang harus di perhatikan dalam menjaga stabilitas Pangan yaitu kemandirian pangan, ketahanan pangan dan kekuatan pangan. Kebijakan Pemerintah melalui proyek MIFEE terkesan hanya mengutamakan kemandirian pangan nasional dan mengesampingkan ketahanan dan kekuatan pangan lokal (sagu dan umbi-umbian) yang ada di Merauke" Ujarnya kesal.
Diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut, menyimpulkan dibalik berlangsungnya operasi MIFE semenjak 2010 sampai sekarang, telah mengakibatkan pengrusakan lingkungan dan pelanggara hak Ekosob masyarakat Adat, yakni sebagai berikut:
1. Lingkungan Hidup
Berpotensi terjadi deforestasi secara besar-besaran terhadap Hutan di wilayah Merauke serta mengancam keanekaragaman hayati, biota air, flora maupun fauna disekitar Hutan, jika Hutan yang berfungsi sebagai drainase alam digunduli, maka akan mengakibatkan Banjir dan longsor sehingga krisis Lingkungan akan lebih berat, untuk mitigasi dan pemulihan kualitas lingkungan hidup akan membutuhkan biaya yang sangat besar, selain itu semakin merosotnya Hutan Hujan tropis di Papua akan berdampak pada peningkatan Suhu Bumi (Climate Change).
2. Ekonomi
Perekonomian masyarakat di merauke masih sangat bergantung terhadap hutan alam, sementara kehadiran MIFEE turut menghancurkan sumber-sumber penghidupan ekonomi yang dimiliki masyarakat, seperti Hutan, Tanah dan Air. Selain itu dalam perencanaannya MIFEE tidak memberikan kepastian Pemenuhan Ekonomi pendapatan yang jelas, berkelanjutan dan terkesan lebih memonopoli keuntungan dari masyarakat yang sudah direbut tanah adatnya untuk dikelolah oleh pemerintah dan Investor. Hal ini tampak dalam pengaturan pembagian hasil dimana masayarakat diberikan hanya 30% dan sisa 70% untuk pemodal, sehingga sangat tidak ekonomis karena tanpa MIFEE masyarakat dapat bertahan hidup bahkan memperoleh pendapatan yang lebih dari hasil pengelolaan potensi lokal yang mereka miliki sebelumnya.
3. Sosial
Hubungan Masyarakat Adat Merauke yang selama ini terjalin rukun dan damai berdasarkan tatanan Adat yang berlaku didalam kehidupan masayarakat adat, terancam bergeser akibat berbagai upaya suap-menyuap terhadap beberapa tokoh adat yang kompromis dengan perusahaan dan pemerintah, yang kemudian menimbulkan berbagai prasangka buruk didalam masyarakat adat, dan terkesan mengadu-domba masyarakat adat.
Selain itu program Transmigrasi yang mendatangkan penduduk dari luar pulau papua seperti, Kalimantan, Jawa dan Sumatera serta Pulau lainnya, untuk kemudian dipekerjakan sebagai buruh di lahan sawah maupun sawit milik MIFEE, berpotensi memarginalkan penduduk asli. hal ini dikarenakan, para pendatang tersebut telah dibekali dengan berbagai pelatihan dan rumah di Merauke sementara masyarakat pribumi tidak diberikan penyuluhan dan pendampingan secara baik dan berkelanjutan oleh pemerintah dan investor, kondisi tersebut akan berimplikasi terhadap penguasaan pasar dan lapangan pekerjaan yang kemudian dapat mengakibatkan kecemburuan sosial dan konflik Horizontal serta yang lebih tinggi yakni depopulasi masyarakat pribumi Papua di Merauke.
4. Budaya
Keberadaan Perusahan telah melanggar norma-norma yang berlaku di masayarakat adat dengan merusak tempat-tempat keramat yang telah dibatasi antar marga melalui prosesi ritual adat (sasi) dan juga hal ini, berdampak menghilangkan kebiasaan pangkur sagu, dan berburu yang merupakan budaya masyarakat setempat.
5. Politik dan HAM
Berbagai keputusan di ambil sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat adat terkait pelepasan 1,2 juta Hektar Tanah adat dan pada tahapan perencanaan serta pelaksanaan proyek, terkesan memaksakan kehendak masyarakat karena lebih mengakomodir kepentingan politik ekonomi pemerintah, sementara kepentingan masyarakat terhadap eksistensi pangan lokal, penguasahan tanah, dan hutan adat ditolak sepihak, sehingga Mega Proyek ini tampak politis dan ambisius serta di baluti dengan isu Swasembada dan Ketahanan Pangan Nasional untuk mencari simpati, dukungan masyarakat luas agar memuluskan niat politisnya.
Masyarakat Adat Merauke, sangat sering mengalami Intimidasi, teror, kekerasan bahkan pembunuhan oleh pihak perusahaan melalui Militer dengan dahli mengamankan program pemerintah yang dianggap prestisius itu. Berbagai upaya dialog kerap didorong oleh masayarakat adat untuk membicarakan masa depan Hutan, Tanah dan kehidupan Anak cucu mereka namun tidak digubris oleh pemerintah pusat ,kepolisian maupun investor dan Tak jarang masyarakat juga di labeli sebagai anti pemerintah dan dikriminalisasi oleh aparat peneggak hukum, sehingga masyarakat seakan dijauhkan dan dibatasi dari jalur penyelesaian konflik agraria secara demokratis di merauke.
Semoga Bedasarkan kajian diatas tampak jelas dampak yang diakibatkan oleh MIFEE sehingga sudah menjadi keharusan pemerintah dan investor untuk membenahi sistem perencanaan, kebijakan dan proyek yang sedang dilakukan karena pendekatan tidak berdasarkan pada ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat dan jauh dari prinsip-prinsip demokrasi, HAM dan Keadilan lingkungan yang berlaku.
Penulis, Team Kerja Komunitas Green Papua (GP).