Peryataan Sikap Memperingati Hari HUT Komunitas Green Papua Ke-I

0

Salam Adil dan Lestari !

Permasalahan lingkungan (Ruang Hidup) saat ini, sudah sangat menghawatirkan sangat terdesak untuk ditangani. Kualitas lingkungan didunia semakin menurun bahkan memburuk. Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan 2016 sebagai tahun terpanas dalam sejarah. Suhu atmosfer Bumi rata-rata dalam setahun naik 1,1 derajat celsius dibandingkan periode sebelum Revolusi Industri 1850-1899. Itu memicu anomali iklim di dunia.
Credit Ilustrasi : Lisa Blandina Yeimo (Anggota Green Papua).

Kenaikan suhu itu hanya satu indikasi dari perubahan iklim akibat, ulah manusia yang kapitalistik, yakni kenaikan konsentrasi gas rumah kaca, karbon dioksida (CO2), dan gas metana (CH4). Konsentrasi CO2 mencapai rekor tertinggi pada 2015, yakni 400 bagian per juta (ppm) atau 144 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum Revolusi Industri dan terus meningkat. Adapun konsentrasi CH4 mencapai 1.845 bagian per miliar (ppb) atau 256 persen. Berbagai pencemar ini terakumulasi dan akibatnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan meleleh lebih cepat dan menjadi salah satu penyebab kenaikkan permukaan laut dan memicu perubahan cuaca, iklim dan sirkulasi laut di belahan dunia.

Fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global disebabkan oleh pengrusakan hutan dan eksploitasi bumi untuk bahan bakar fosil yang dikeruk (ditambang) demi akumulasi profit, pencemaran air-tanah-udara akibat limbah, kekeringan dan berbagai bencana alam hingga perubahan pola konsumsi serta pola hidup manusia, adalah contoh yang dekat didepan mata kita.
Semenjak perut bumi Cenderawasih dikeruk untuk kepentingan akumulasi modal dan keuntungan, selama itu pula hasilnya diangkut ke luar negeri. Rakyat hanya mendapatkan ampasnya saja dan diwarisi racun tambang berton-ton jumlahnya, di darat, laut maupun udara.Tak hanya itu saja, industri pertambangan, pada khususnya, telah merampas wilayah hidup, menghapuskan mimpi dan cita-cita generasi masa depan, hingga merenggut jutaan nyawa manusia secara langsung maupun tidak langsung.

Di Tanah Papua, PT.Freeport Indonesia adalah aktor perdana (1967) perusak lingkungan di bumi cenderawasih dan juga simbol kapitalis global yang terus mengeruk kekayaan alam papua dan mengkooptasi Negara Indonesia untuk mengklonialisasi Papua sambil meluncurkan praktek eksploitasi untuk mengakumulasi kapital, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan sarat berbagai tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap masyarakat Papua. Kontrak Freeport telah diperpanjang 30 tahun sejak tahun 1991, dan hendak diperpanjang lagi hingga 2041 mendatang, seiring dengan itu, korporasi dan pemerintah (pemberi konsesi) saling berebut saham, divestasi 51% dan menggantungan nasib Rakyat Papua pemilik sah Gunung Emas itu.

PT Freeport Indonesia, perusahaan yang terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996, adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat disekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM serta dampak lingkungan dan pemiskinan masyarakat. Emas dan tembaga Freeport tidak ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Papua tetap propinsi termiskin di Indonesia dalam status klonialisasi, dengan tingkat resiko penyakit dan kematian tertinggi, dan kekerasan oleh tentara yang terbanyak di seluruh wilayah Indonesia, telah terjadi 500.000 kematian rakyat sejak Freeport dioperasikan.

Setiap hari operasi penambangan Freeport membuang 230.000 ton limbah batu ke sungai Aghawagon dan sungai-sungai disekitarnya. Pengeringan batuan asam—ataupembuangan air yang mengandung asam—sebanyak 360.000-510.000 ton per hari telahmerusak dua lembah yang meliputi 4 mil (6,5Km) hingga kedalaman 300 meter.Cadangan Grasberg sebegitu besarnya hingga eksplorasinya akan menghasilkan 6 milyar ton limbah industri.

Penghancuran Ekologi (Ecocide) oleh koorporaasi lainnya ditanah Papua terus terjadi melalui berbagai skema dan yang sangat masif disektor kehutanan saat ini adalah Pola pelaksanaan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) yang dimiliki perusahaan pembalak hutan maupun konversi sumber daya hutan untuk perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang konsesinya diberikan oleh Negara dan akibatnya semakin menjamur luasan perkebunan Sawit di Tanah Papua, Walaupun mendapatkan penolakan dari masyarakat Adat,  operasi perusahan-perusahaan perkebunan sawit ini terus berlanjut bahkan negara selaku pelaksana kebijakan terus menunjukkan wajahnya, bahwa benar-benar mimihak kepada koorporasi melalui regulasi yang proo investasi akibatnya hutan alami papua dikonversi menjadi lahan-lahan perkebunan sawit dan masyarakat semakin kehilangan ruang hidup. sementara banyak dari rakyat papua dalam mempertahankan tanahnya kerap menuai intimidasi bahkan pembunuhan.

Kondisi Ruang hidup rakyat Papua semakin memperhatinkan, dan terus terancam dengan Proyek-proyek yang dianggap prestisius oleh pemerintah Indonesia, yang sangat populis yakni MIFFE yang diprakarsai oleh Rezim SBY-Boediono (2010) melalui paket pembangunan MPE3I dan dilanjutkan kembali dalam paket pembangunan NAWACITA Rezim Jokowi-JK (2014). 1,2 Juta Hektar luasan tanah digadaikan kepada investor oleh negara dengan tujuan utopis Swasembada Pangan Nasional, yang kemudian berdampak pada hilangnya berbagai ekosistem di wilayah konsesi, sehingga keseimbangan alam terganggu dan berdampak pada alienisasi hubungan manusia dan alam yang sudah terjalin secara turun-temurun.

Ditengah kepungan investasi, ekploitasi yang di bungkus dengan isu pembangunan kita masih memiliki peluang besar secara kolektif untuk bertindak demi penyelamatan Tanah Papua sebagai rumah bersama dikhatulistiwa bagi berkembangbiaknya beragam jenis flora dan fauna yang tidak dimiliki oleh daerah lain di dunia, serta luasan hutan dataran rendah terbesar di Asia Tenggara dan Pasifik yang masih murni dan mengandung kekayaan dan keanekaragaman kehidupan yang tidak ada taranya, yang menjadi penyerap emisi bahan pencemar yang kian merong-rong kehidupan umat manusia di planet bumi.

Berdasarkan ini, maka bertepatan dengan HUT Komunitas Green Papua ke-I kami menyatakan :

1.  Freeport adalah aktor perusak lingkungan; Tutup, Audit, sita aset-asetnya untuk rakyat, dan menanggung seluruh biaya rehabilitasi lingkungan dikawasan Tambang.
2. Menolak secara tegas perluasan Lahan Perkebunan Sawit di Seluruh Tanah Papua.
3. Mengecam tindakan militeristik terhadap masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidup.
4.     Selamatkan Bumi Papua dari koorporasi dan pemerintah perusak lingkungan;
5.    Bangun konsolidasi perlawanan nasional masyarakat adat terhadap keserakahan koorporasi dan aktor pemerintah yang mengkomersialisasi potensi alam milik rakyat demi kepentingan ptofit.


Selamatkan Tanah Air dan Bebaskan Rakyat
Selamatkan Bumi Cenderawasih dari Korporasi dan Pembangunan yang tidak Ekologis

Malang, 15 Desember 2017
Komunitas Green Papua

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Menerima!) #days=(20)

Blog kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Pelajari
Accept !
Ke Atas